Rabu, 26 Desember 2012

Jangan jadikan "Madrasah" Sebagai Sekolah Kelas II.

Wajar bila Kementerian Agama merasa terusik dengan surat edaran Kemendagri yang melarang penggunaan APBD bagi madrasah madrasah, dengan alasan dana yang dikelola kementerian agama sudah cukup banyak. Kita berharap masalah sensitif ini bisa diselesaikan baik baik antara antara Kemenag dan Kemendagri, sebagai layaknya tim yang tergabung dalam Kabinet bersatu jilid 2. Kita berharap agar keduanya dapat secara cerdas menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan saling berebut kemenangan yang mengorbankan kepentingan ummat.

Setidaknya marilah kita belajar dari kasus ketika akan klosing program Wajar Digdas. Ketika Kemendiknas dan kemenag melaporkan kepada DPR dalam suatu sidang yang khusus membicarakan itu. Lalu ada pertanyaan dari para anggota terhormat, prihal anak anak di pesantren, apakah mereka sudah tersentuh oleh program wajar Dikdas ini. Jawabannya ternyata sangat mengejutkan sekali. "Belum" !.

Kemenag belum menggarapnya, lantaran

Larang APBD untuk Madrasah



Kemenag Siap Protes Kemendagri


JAKARTA - Hubungan antara Kementerian Agama (Kemenag) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bakal tidak harmonis. Pemantiknya adalah surat edaran Kemendagri yang melarang pemkab dan pemkot mengucurkan APBD untuk sumbangan atau bantuan madrasah.

Wajar jika Kemenag terusik dengan surat edaran Kemendagri itu. Sebab,

Selasa, 18 Desember 2012

Inilah Tampang Tan Sri Zainuddin Penghina BJ Habibie


Indonesia mengutuk keras sikap mantan Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin yang menyebutkan mantan Presiden BJ Habibie sebagai pengkhianat bangsa.

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dan Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto menyebut tulisan Zainuddin sebagai bentuk penghinaan yang luar biasa.

"Menyebut mantan Presiden Habibie sebagai pengkhianat adalah penghinaan yang luar biasa dan

Koran Malaysia Sebut BJ Habibie sebagai ‘The Dog of Imperialisme”



Sebuah tulisan yang dimuat oleh media massa Malaysia hari ini, dipastikan bakal memperpanas hubungan Malaysia dengan Indonesia.

Mantan presiden B.J Habibie disebut sebagai "The Dog of Imperialisme" dan pengkhianat bangsa Indonesia oleh Tan Sri Zainuddin Maidin dalam kolom rencana di koran Utusan Malaysia. (http://www.utusan.com.my/utusan/Rencana/20121210/re_07/Persamaan-BJ-Habibie-dengan-Anwar-Ibrahim)

Di ujung tulisan, si penulis yang adalah mantan Menteri Penerangan di era Mahathir Mohamad, menyebut "Pada hakikatnya mereka berdua (Habibie dan Anwar Ibrahim) tidak lebih daripada The Dog Of Imperialism".

Tulisan itu awalnya menyinggung kedatangan Habibie di Universiti Selangor

Senin, 17 Desember 2012

Jika Tidak Minta Maaf, Tempo Akan Dibawa ke Ranah Perdata Print


Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng menegaskan, kalau Tempo tidak meminta maaf atas dimuatnya karikatur wajanya di cover story edisi 17-23 Desember 2013 maka ia akan membawa hal ini keranah perdata. "Besok, Selasa (16/12) saya akan membawa ini ke kode etik dewan pers, mudah-mudahan ada penyelesaian. Kalau tidak, saya akan membawanya ke ranah pidata, " tegas Rizal kepada wartawan, Senin (15/12).

Format permintaan maaf, ujar pria yang akrab disapa celi ini adalah, memasukannya secara utuh dalam satu halaman penuh majalah serta koran-koran terkemuka. "Dikedepannya Tempo juga harus bantu Univesitas Hasanudin, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia untuk membantu profesi kewartawanan," jelasnya.

Sebelumnya pada Cover Story majalah Tempo edisi 17-23 Desember 2013 terlihat wajah Celi bersama dua saudara kandungnya yakni Andi Mallarangeng dan Andi Zulkarnaen Mallarangeng memegang karpet dollar. Dua saudaranya tersebut kerap disebut

Polemik Pilkada Lampung.


Sudah menjadi pembicaraan dan gunjingan masyarakat di Lampung tentang polemik antar Syachruddin Gubernur Lampung dengan KPU Lampung mengenai jadual Pilkada Lampung tahun 2014. Karena tahun 2014 bersamaan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga selayaknya pada tahun bersamaan tidak menyelenggarakan Pilkada, karena secara kebetulan jadual Pilkada Lampung dan Kabupaten Lampung utara jatuh pada tahun 2014 tersebut. Nampaknya kedua pihak sepakat tidak menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2014, tetapi dalam waktu bersamaan mereka beda pendapat tentang jadual penggantinya. Syahruddin menginginkan Pilkada diundur hingga tahun 2015, sementara KPU Lampung sebaliknya mengehendaki pemajuan jadual sehingga Pilkada dilaksanakan tahun 2013.

Sepertinya polemik ini tidak lagi dilakukam atas kepentingan rakyat banyak, melainkan ada penonjolan kepentingan pribadi, sepertinya satu pihak tidak rela mengurangi periode kekuasaannya sedikitpun, sementara pihak lain yang akan berakhir masa kerjanya menginginkan Pilkada tahun 2013 ini juga. Lalu begitu beratkah mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi itu.

SATUKAN (kembali) PERBEDAAN DI TULANGBAWANG


Gubernur Lampung Sjachroedin ZP meminta bupati dan wakil bupati Tulangbawang yang baru dilantik, bersama masyarakat dapat menyatukan perbedaan untuk memajukan pembangunan di kabupaten tersebut.

"Jangan lagi ada perbedaan, karena pasangan Hanan A Razak-Heri Wardoyo terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Tulangbawang periode 2012-2017 merupakan kehendak Tuhan, yang tidak perlu dipermasalahkan lagi," ujar Sjachroedin saat pelantikan kepala daerah terpilih di DPRD Tulangbawang, Senin (17/12).

Menurut dia, keberhasilan pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah akan terlaksana baik apabila masyarakat serta pemerintahnya berjalan bersama.

PRINGSEWU: Anggaran Pembangunan Gedung Dewan Dialihkan


PRINGSEWU (Lampost.co): Badan Anggaran DPRD kabupaten Pringsewu sepakat mengalihkan anggaran pembangunan gedung dewan senilai Rp16,8 miliar untuk pembangunan infrastruktur.

Menurut Ketua Komisi C DPRD Pringsewu, Suripto, banyak usulan masyarakat melalui hearing dan reses yang belum terealisasi. Sehingga dewan sepakat mengalihkan anggaran tersebut. “Teknis pembagian anggaran menjadi tanggungjawab Dinas PU,” ungkapnya.

Berdasarkan kajian Konsultan, pembangunan gedung dewan menelan anggaran senilai Rp45,5 miliar lebih. Sehingga, anggaran yang hanya sebesar Rp16,8 miliar lebih baik dipergunakan untuk kepentingan publik.

"Dewan akan mengupayakan mencari investor, agar bisa bekerja sama dengan pemkab Pringsewu untuk membangun Kantor DPRD dengan sistem multi years (tahun jamak). Dengan system tersebut, pihak ketiga bisa membangun dengan dananya sendiri, kemudian pemkab bertanggungjawab membayar setiap tahun anggaran" tukas Suripto

Menurut Suripto, dengan system multi years kualitas bangunan juga bisa dijamin. Karena anggarannya cukup dan bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran. (WID/L-4)

BANDAR LAMPUNG: Kepengurusan 18 Parpol Amburadul



BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kepengurusan 18 partai politik (parpol) di Bandar Lampung amburadul. Mulai dari sekretariat kantor parpol fiktif hingga struktur pengurus merupakan satu keluarga.

Berdasarkan hasil evaluasi verifikasi susulan 18 parpol oleh KPU Bandar Lampung, Senin (17-12), mayoritas parpol dinyatakan tidak memenuhi syarat.

"Hasil evaluasi, hanya dua parpol yang lengkap, sisanya tidak memenuhi syarat," kata ketua KPU Bandar Lampung Fauzi Heri.

Menurut dia, dua partai yang dinyatakan lengkap yaitu Partai Nasional Republik (Nasrep) dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Sedangkan 16 partai lainnya harus perbaikan.

Fauzi menambahkan, KPU banyak menemukan kejanggalan saat verifikasi susulan. Diantaranya, partai mencatut alamat kantor pemkot Bandar Lampung, dan mencantumkan alamat kolam renang dan tempat kontrakan kosong.

Minggu, 16 Desember 2012

Ruhut Klaim Anas Jadi Ketum Demokrat Berkat Jasanya


Politisi Demokrat Ruhut Sitompul tidak terima jika posisinya sebagai Ketua DPP Bidang Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat dicopot oleh Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum.

Ruhut menganggap, sebagai Ketum Anas sudah lupa diri. Pasalnya, Anas bisa terpilih jadi Ketum saat kongres Partai Demokrat di Bandung, berkat jasanya. "Anas kan jadi ketum karena saya. Kalau saya tidak di kubu Anas ya Andi jadi Ketum," tegas Ruhut di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/12/2012).

Menurut Ruhut, saat dirinya dinyatakan dikeluarkan dari DPP, hal itu membuktikan saat ini sikap Anas sudah kelewatan dan dia yakin akan jadi malapetaka untuk dirinya sendiri. "Tapi aku lihat Anas makin menggali lubang sendiri untuk dirinya," sambungnya.

Partai Islam Sebagai Sebuah Kebutuhan



“Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan”



I. Pendahuluan.

Sejak lama para pemimpin Islam di Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Setelah sekian lama terkungkung oleh kebijakan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari enam puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal: pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.

Sejak awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan

Bacaleg PPP Didominasi Perempuan


Radar Lampung - Kamis, 13 Desember 2012


BANDARLAMPUNG – Sebanyak 40 bakal calon anggota legislatif (bacaleg) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Lampung datanya dikirimkan ke DPP PPP. Menariknya, dari jumlah tersebut sebagian besar perempuan.

Wakil Ketua DPW PPP Provinsi Lampung Hamami Nurdin J.S., mengatakan Ketua DPW PPP Lampung M.C. Iman Santoso sudah bertolak ke Jakarta melaporkan 40 bacaleg tersebut beberapa waktu lalu. Hingga, kemarin sedang proses di DPP dan 40 orang bacaleg ke DPP tersebut untuk pemilihan kursi DPRD Lampung. Nama-nama bacaleg sudah final di tingkat provinsi.

’’Dari 40 orang itu, 10 laki-laki. Sisanya 30 bacaleg perempuan. Hal ini sebagai cara kami mematuhi ketentuan kuota keterwakilan perempuan,’’ tandas dia.

DPW PPP Lampung Jaring Calon Gubernur


LAMPUNG (Pos Kota) – Pemilihan Gubernur Lampung pada 2013 mendatang membuat DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Lampung terus membuka komunikasi politik dengan bakal calon . Hal ini dikatakan Wakil Ketua DPW PPP Provinsi Lampung Hamami Nurdin di kantor wilayah PPP pada Kamis (20/9).

“Sudah ada yang melamar namun kami tidak mau menyebut secara jelas namanya, yang pasti berasal dari kalangan politisi dan birokrat yang masih menjabat. Penentuan balon harus melewati mekanisme partai, dan survey,” kata Hamami.

Adapaun kader internal sebagai orang nomor 1 di Lampung,

Dasar Hukum Pilkada Lampung 2013 Jelas



Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi dan Kabupaten Kota se Propinsi Lampung melakukan Audensi dengan Komisi II DPR RI, Rabu (12/12). Berkaitan dengan polemik Pemilihan Gubernur Lampung.

Rombongan yang dipimpin Edwin Hanibal. SH. MH dan Solihin anggota KPU Propinsi Lampung, diterima Ketua Komisi II DPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa. BCIP MSI. Di ruang kerjanya.

Edwin Hanibal, SH. MH, dihadapan Ketua Komisi II DPR RI, mengatakan, kesepakatan Rapat koordinasi antara KPU Pusat, Kementerian Dalam Negeri, Gubernur Lampung, KPU Lampung, DPRD dan Bawaslu Senin (3/13) lalu, yang menghasilkan keputusan diantaranya Pilgub Lampung tidak dilaksanakan pada tahun 2013. Hal ini menurut kami melanggar peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan Pilkada. Ujar Edwin Hanibal.

Menanggapi laporan tersebut Ketua Komisi II DPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa. menyatakan bahwa pertemuan itu adalah pertemuan yang melanggar Hukum dan mengintervensi KPU, Komisi II akan segera memanggil Mendagri untuk meminta klarifikasi pertemuan tersebut dan meminta Dirjend OTDA dan Dirjend Kesbangpol Depdagri mempertanggung jawabkan kegiatan tersebut.
Komisi II DPR RI meminta dan menghimbau seluruh KPU se Lampung,

Pilkada Lampung 2013 Didukung 5 Fraksi DPR

BANDAR LAMPUNG - Sebanyak lima fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung pemajuan jadwal pemilihan gubernur Lampung yaitu di 2013.

"Fraksi Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Hanura telah membubuhkan tanda tangan dukungan. Mereka juga sudah mengirimkan surat ke gubernur, DPRD Lampung, Mendagri dan KPU untuk rapat dengar pendapat," ujar Isnan Subkhi, perwakilan dari kelompok mahasiswa dari Koalisi Pro Demokrasi (KPD), Jumat (14/12/2012).

Hasil Islah : Pilgub Lampung Batal Digelar Tahun 2013


Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyatakan penyelenggaraan pemilihan Gubernur Lampung (Pilgub) tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2013.

"Pemerintah dan KPU Lampung islah antara kedua belah pihak, ke depan duanya akan dapat bekerja sama dan membangun sinergitas dalam penyelenggaraan Pilgub Lampung," kata Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan pada konferensi pers di Hotel Sheraton, Bandarlampung, Senin (3/12).

Rapat penyelesaian waktu pelaksanaan Pilgub Lampung dimediasi Kemendagri dihadiri Dirjen Otda Kemendagri, Dirjen Kesbangpol Achmad Tanribali Lamo, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik, dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daniel Zuchron.

Ruhut Sitompul Dipecat Demokrat, Apa Alasannya?


Partai Demokrat secara mengejutkan memecat Ruhut Sitompul dari DPP Partai Demokrat. Selain itu Demokrat juga merotasi beberapa kader partai lainnya seperti Andi Nurpati. Ruhut Sitompul yang juga anggota DPR itu sekarang tak lagi menjabat ketua Bidang Komunikasi dan Informatika DPP PD. Diperkirakan pemecatan ruhut sitompul dari Demokrat karena perselisihan dengan Anas Urbaningrum.


Tidak banyak penjelasan dari DPP mengapa Ruhut dicopot dan mengapa baru sekarang, jelang pelaksanaan Silaturahmi Nasional Demokat, 14-15 Desember 2012, yang merupakan rangkaian HUT partai pemenang pemilu tersebut.

DPP Demokrat hanya menjelaskan bahwa pencopotan Ruhut demi "penyegaran" menyongsong Pemilu 2012.

Sabtu, 24 November 2012

24 CALON PANWASLU GUGUR



BANDAR LAMPUNG (Lampost.Co): Tim seleksi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Lampung menyatakan 24 peserta tidak lolos ujian seleksi. Hal itu disebabkan nilai peserta tidak masuk dalam standar dan dilaporkan buruk oleh masyarakat.

Ketua tim seleksi panwaslu, Heni Siswanto, Senin (12-11), mengatakan panitia seleksi telah mengumumkan 149 orang yang lolos ujian tertulis sebagai calon anggota Panwaslu dari 173 orang yang mengikuti seleksi. Sedangkan 24 lainnya dinyatakan tidak lolos seleksi tahapan ujian tertulis dan uji publik.

Selasa, 20 November 2012

104 Konflik Sosial terjadi Selama 2012


JAKARTA (Lampost.co): Kementerian Dalam Negeri mendata sebanyak 104 konflik sosial terjadi selama Januari hingga November 2012.

"Bentrok antarwarga merupakan pemicu konflik yang paling sering terjadi selama 2012, yaitu sebanyak 35 kali peristiwa," kata Kasubdit Penanganan Konflik Sosial, Ditjen Kesbangpol, Kementerian Dalam Negeri Tri Jaladara, di Jakarta, Senin (19-11).

Hal itu disampaikan pada

Laksanakan Program Untuk Ummat.


FACHRUDDIN
Carut marut tatanan pemerintahan sebagai akibat diberlakukannya otonomi pemerintahan di Indonesia ini, membuat ummat semakin terpinggirkan, dalam berbagai aspek kehidupan serasa ummat tak didampingi baik oleh Pemerintah maupun para pimpinan nonformal lainnya, sehingga dikalangan masyarakat muncul kecenderungan untuk bertindak menuruti keinginan dan kepentingan masing masing. Itulah sebabnya kerap kali muncul keributan dan amuk massa dikalangan masyarakat, perdamaian yang dimediasi Pemerinyah sepertinya tak mendatangkan pencerahan yang berarti, karena ternyata konflik konflik itu selalu muncul, cukup dengan pemicu yang sangat sepelenya.

Walaupun kebun kebun, ...

PILGUB LAMPUNG: PKPB Gabung dengan 27 Partai Guram



BANDAR LAMPUNG (Lampost): Koalisi 27 partai guram yang tidak memiliki kursi di DPRD Lampung terus mengajak partai lain untuk berkoalisi mengusung calon gubernur Lampung. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang memiliki empat kursi menyatakan bergabung dengan partai guram tersebut. Ketua penggagas koalisi partai nonparlemen Thomas Azis Riska, Jumat (16-11), mengatakan jumlah partai guram yang berkoalisi untuk mengusung calon gubernur Lampung dalam pilgub mendatang bertambah menjadi 28 partai. Itu menyusul bergabungnya PKPB yang memiliki empat kursi di DPRD Lampung kedalam koalisi.
"Jumlah partai yang berkoalisi untuk mengusung calon gubernur kini bertambah menjadi 28 partai. PKPB sudah menyatakan siap bergabung dengan kami," kata dia.
Menurut Thomas Azis Riska, bergabungnya PKBB dalam koalisi 27 partai guram menambah kuat koalisi gabungan partai untuk mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Lampung. Mengingat, 27 partai guram yang

Hanura, PDP, Demokrat Lulus Verifikasi



BANDAR LAMPUNG (Lampost.Co): KPU Lampung menyatakan tiga partai politik, yakni Partai Hanura, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), dan Partai Demokrat, memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu 2014 dalam verifikasi tahap kedua untuk tingkat kepengurusan Provinsi Lampung. Hal tersebut disampaikan komisioner KPU Lampung Edwin Hanibal, usai memverifikasi DPD Partai Hanura Lampung, Selasa (20-11).

Dengan demikian, dari 16 parpol yang mengikuti verifikasi di tingkat provinsi, tinggal empat parpol lagi yang masih menunggu hasil. Empat parpol yang belum dinyatakan lolos atau tidak adalah Partai Golkar, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB).

Dalam verifikasi di Partai Hanura,

Senin, 19 November 2012

Parpol Islam terancam Gagal Pada Pemilu 2014



Metrotvnews.com, Jakarta: Partai politik Islam terancam gagal masuk lima besar di Pemilihan Umum 2014. Sementara calon presiden dari parpol Islam, dinilai kalah populer dibanding partai nasionalis.

Parpol Islam Jatuh Karena Gagal Bela Kepentingan Muslim

Tak Punya "Isu Seksi" untuk Dijual ke Publik


LENSAINDONESIA.COM : Partai-partai Islam terancam terpuruk pada Pemilu 2014. Bila tak segera berbenah bukan tak mungkin partai-partai Islam akan mati sama sekali.

Berdasarkan Hasil Survei Lingkaran Survei Indonesia, Parpol Islam tersebut bahkan tidak masuk dalam lima besar partai politik yang memperleh suara signifikan.

Pasalnya Parpol Islam hanya berkutat di bawah 5% yang jauh di tinggalkan oleh parpol berbasis Nasionalis.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia, Adjie Alfaraby dalam paparannya di kantornya, JL. Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Minggu (14/10) mengatakan, ada dua faktor yang menjadi sebab bakal terpuruknya partai Islam.

Pertama tak ada isu “seksi” yang bisa dijual ke publik. Kedua, partai Islam gagal memperjuangkan nasib umat Islam.

Minggu, 18 November 2012

Tiga Parpol Belum Memenuhi Syarat Verifikasi Faktual




Liputan6.com, Jakarta: Sebanyak tiga dari 16 partai politik yang mengikuti tahap verifikasi faktual tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dinyatakan tak memenuhi syarat, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Partai Golkar dan PBB terganjal pada hal yang sama, yaitu ketidaklengkapan kehadiran keterwakilan perempuan dalam kepengurusan. Sementara PKS tidak dapat menghadirkan dua pengurus inti, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.

KPU Catat Sembilan Parpol Tidak Memenuhi Syarat


TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung mencatat saat verifikasi faktual sembilan partai politik (Parpol) dokumennya tidak sesuai dengan dokumen verifikasi yang dikirimkan KPU Pusat

Kesembilan parpol tersebut yakni Partai Demokrat, Partai Hanura, PKBIB, Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Pesatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat Pembangunan (PDP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Golkar.

Buku Baru: Tentang Bung Karno




SEJARAWAN Asvi Warman Adam memberi judul bukunya cukup provokatif: Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?, Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Puncak dari tragedi itu, menurut Asvi, adalah tidak dirawatnya Soekarno secara wajar sebagai seorang mantan presiden. Soekarno dibiarkan mati perlahan-lahan. ”Resep yang dibuat dokter disimpan di dalam laci. Ketika itu, tidak pernah diupayakan untuk mendatangkan peralatan cuci darah, misalnya, dari luar negeri,” tutur Asvi dalam buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas 2010.

[Persona] Revolusi ala Rhoma Irama




Budi Suwarna dan Frans Sartono

RHOMA Irama mengumumkan ”revolusi” kedua musik dangdut lewat single ”Azza” dan film ”Dawai 2 Asmara”. Pada revolusi pertama ala Rhoma era awal 1970-an, ia mengubah arah musik dangdut dengan memberinya nuansa rock.

Ridho Rhoma dan Rhoma Irama (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Jika Anda mendengar lagu dangdut dengan sentuhan gitar rock yang keras-kasar distortif, maka itu adalah gagasan Raden Haji Oma Irama atau Rhoma Irama. Sekitar pertengahan era 1970-an, ia meletakkan suatu gaya musik dengan sentuhan rock yang di kemudian hari menjadi semacam ”genre” tersendiri dari apa yang dulu disebut sebagai musik melayu. Musik melayu yang kemudian disebut dangdut di tangan Rhoma bersama Soneta Grup-nya terdengar dinamis, agresif dan progresif.

Kamis, 15 November 2012

18 Parpol gurem laporkan KPU ke Mabes Polri



18 Partai politik tidak lolos verifikasi administrasi peserta pemilu 2014 rencananya akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait dugaan penggelapan data parpol ke Bareskrim Mabes Polri. LSM Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) menilai langkah tersebut kurang tepat.

"Semua pelanggaran pidana pemilu, pintunya harus melalui Bawaslu. Tidak bisa langsung ke polisi. Saya khawatir mereka salah pintu karena tak memahami UU Pemilu," kata Koordinator Sigma, Said Salahuddin kepada merdeka.com di Jakarta, Jumat (16/11).

Said mengatakan

7 Lagu Rhoma Irama bertema kebangsaan






1. 135 Juta jiwa

Lagu 135 juta jiwa karangan Rhoma Irama ini belakangan kembali dibicarakan. Lagu yang mengisahkan bangsa Indonesia sangat majemuk dengan berbagai macam suku bangsa, agama, tersebut, menjadi kritikan keras bagi Rhoma saat kampanye di Pilgub DKI beberapa waktu lalu.

Rhoma menyerang pasangan Jokowi-Ahok terkait dengan agama yang mereka anut. Padahal, dalam lagu itu, Rhoma meminta agar tidak saling menghina antar suku bangsa Indonesia, seperti penggalan lirik berikut ini:

"Janganlah saling menghina antar suku bangsa Indonesia. Walau pun bermacam-macam aliran tetapi satu tujuan," demikian akhir lagu yang tiap tahun bisa diganti judulnya tersebut, lantaran jumlah penduduk Indonesia terus bertambah.

2. Hak Azasi

Provil Roma Irama


BIOGRAFI
Raden Oma Irama atau Rhoma Irama lahir di Tasikmalaya, 11 Desember 1946. Dia dikenal sebagai penyanyi dangdut senior dan juga bintang film. Semula lebih dikenal dengan nama Oma Irama, namun setelah pulang dari menjalankan ibadah haji namanya berganti, R.H. Oma Irama atau Rhoma Irama.

Rhoma sendiri adalah suami penyanyi dangdut Rica Rachim, yang dinikahinya sekitar tahun 1984. Pernikahan itu pun berlangsung diam-diam, karena pada saat itu Rhoma masih berstatus suami Veronica (alm). Baru tahun 1985 Rhoma menceraikan Veronika secara resmi.

Muhammadiyah Berdayakan Aset Organisasi




BANDAR LAMPUNG (Lampost.Co): Memasuki usianya ke dua abad, Muhammadiyah bertekad menuju kemandirian dengan sasaran utama meningkatkan ekonomi kerakyatan. Programnya dengan memberdayakan aset organisasi, mulai dari tingkat pusat hingga ranting.

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Lampung Nurvaif Chaniago mengatakan itu dalam kunjungannya ke kantor Lampung Post, Rabu (14-11).

36 Calon Anggota Panwaslu Ikuti Wawancara



BANDAR LAMPUNG (Lampost.Co): Sebanyak 36 calon anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mengikuti ujian wawancara di Hotel Andalas Permai Bandar Lampung, Kamis (15-11). Dari jumlah itu, tim seleksi akan menyaring separuhnya untuk diserahkan ke Bawaslu Lampung.

Ketua tim seleksi calon anggota Panwaslu kabupaten/kota Heni Siswanto mengatakan 36 calon anggota Panwaslu yang mengikuti tes wawancara berasal dari dari tiga kabupaten, yakni Tanggamus, Pesawaran, dan Pringsewu. Sedangkan kabupaten lainnya akan mengikuti ujian interviu di hari berikutnya.

LSM Kumpulkan Koin untuk Pilgub Lampung



BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan aksi penggalangan dana (koin) untuk Pilgub Lampung 2 Oktober 2013 di Bundaran Tugu AdiPura Bandar Lampung, Rabu (14-11). Uang hasil penggalangan dana akan disumbangkan kepada KPU Lampung pelaksanaan Pilgub sesuai jadwal.

Aksi penggalangan dana itu dilakukan puluhan aktivis LSM yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Dengan menggunakan kotak kardus dan baskom, mereka meminta sumbagangan uang kepada para pengguna jalan.

Sabtu, 03 November 2012

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid


Kecamatan Lekok adalah salah satu daerah pesisir kabupaten Pasuruan yang menjadi tempat tujuan pengabdian Posdaya berbasis masjid kelompok 101, yaitu tepatnya di masjid Baiturrahim Desa Balunganyar. Awal mahasiswa tinggal di Desa dengan lingkungan warga petani susu, mengakibatkan banyak mahasiswa yang mengeluh, karena tiap hari harus menikmati bau kotoran sapi di sekitar rumah. Kesulitan komunikasi, juga mereka alami, karena masyarakat Lekok menggunakan bahasa Madura. Keadaan tersebut ditambah dengan rasa tidak percaya diri mahasiswa yang masih duduk di semester 5.

DPP Usulkan Pemerintah Pulihkan Psikis Warga Lamsel Jumat, 2 November 2012 | 22:00

[KUTA] Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) RI mengusulkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah Lampung segera melakukan pemulihan psikis dan membangun kerukunan masyarakat di lokasi bentrok di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.

Jumat, 02 November 2012

Jusuf Kalla: Jangan Usir Etnis Bali


Desa Balinuraga,

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Ketua Umum Palang Merah Indonesia, M Jusuf Kalla, mengatakan etnis Bali yang berada di Lampung tidak boleh terusir dari daerah tersebut.

Bahasa Indonesia akan Menjadi Pelajaran Wajib di Australia




TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Bangkitnya Asia tidak bisa dihentikan oleh siapapun, dan terus melaju. Australia harus memiliki rencana yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

Mantan Napi Bisa Nyaleg Golkar



TRIBUNLAMPUNG.co.id - Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso berpendapat siapapun kader Golkar, bahkan yang pernah terjerat pidana, bisa maju sebagai calon legislatif (caleg) di Pemilu 2014. Kuncinya, menurut Priyo, asal majunya caleg tersebut tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan

"Tetap diberi peluang siapapun dia meski sudah kena masalah hukum," kata Priyo di sela-sela perayaan HUT Golkar ke-48 di Kemayoran, Jakarta, Rabu ( 31/10/2012 ) malam.

Hal itu dikatakan Priyo ketika dimintai tanggapan protes dari Ketua DPP Partai Golkar Nurdin Halid ketika Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) IV di Jakarta, Selasa kemarin. Mantan terpidana kasus korupsi distribusi minyak goreng Bulog itu tak terima dengan rekomendasi dari kader Golkar untuk tidak memprioritaskan kader bermasalah dengan hukum di nomor urut caleg teratas.

VERIFIKASI FAKTUAL DPW PPP LAMPUNG, OLEH KPU LAMPUNG

Kamis, 01 November 2012

KPU segera lakukan verifikasi faktual parpol


29 Oktober 2013
KPU hari ini bertemu Komisi II DPR untuk menjelaskan keterlambatan pengumuman
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia akan melakukan verifikasi faktual terhadap 16 partai politik yang lolos verifikasi administrasi tahap II.

Senin, 29 Oktober 2012



BANDAR LAMPUNG – KPU Lampung dan Wakil Gubernur Joko Umar Said, akan membahas persoalan kontroversi pemilukada gubernur Lampung dipercepat tahun 2013 yang telah ditetapkan KPU tersebut.

4 Partai Laporkan Dugaan Pelanggaran KPU ke Bawaslu



Jakarta - Minggu (27/10) malam, KPU telah mengumumkan partai-partai mana saja yang lolos dan tidak lolos verifikasi administrasi. Terkait keputusan tersebut, sudah ada 4 partai yang melaporkan adanya dugaan pelanggaran kepada Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu).

"Jika ada indikasi bahwa KPU melakukan pelanggaran, maka kami akan merekomendasikan kepada KPU bahwa partai-partai tersebut harus ikut dalam proses verifikasi administrasi,” ujar anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, dalam keterangan pers yang dirilis bawaslu, Senin (29/10).

Nelson menjelaskan, untuk menindaklanjuti laporan tersebut, Bawaslu berencana lakukan audit investigasi.

"Bawaslu akan meminta data pada KPU yang dijadikan bahan penelitian administrasi. Kita segera melakukan audit investigasi terhadap data tersebut," jelas Nelson.

Empat partai yang Senin (29/10) kemarin memberikan laporan kepada Bawaslu antara lain Partai Republik, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Nasional Republik, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

Sumber: Detiknews

Minggu, 28 Oktober 2012

PPP Lulus dalam Verifikasi Adminstrasi KPU


PPP telah berhasil lulus sebagai partaipolitik calon peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014. Demikian pengumuman yang dibacakan oleh oleh Ketua KPU.

Pengumuman ini dilakukan bertepatan dengan tanggal 28 Oktober 2012 yang merupakan hari Sumpah Pemuda, sehingga memiliki momentum yang penting, dengan semangat kenegaraan kita untuk memperkuat perkembangan demokrasi di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU, Husni Kamil Manik dalam konferensi pers yang diselenggarakan KPU di ruang sidang utama lantai 2 KPU, Minggu(28/10). Hadir dalam konferensi pers tersebut seluruh Komisioner KPU, Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU, dan perwakilan dari Bawaslu yang diwakili oleh Anggota Bawaslu, Nasrullah.

“Hari ini merupakan bagian akhir dari hasil verifikasi administrasi yang telah dijadwalkan, dan kami terlebih dahulu memutuskan untuk merubah Peraturan KPU Nomor 7 dan 8 Tahun 2012 yang menjadi pedoman dalam proses pengambilan keputusan rapat pleno yang baru saja usai menjelang Maghrib tadi,” papar Husni Kamil Manik.

Penundaan pengumuman ini merupakan konsekuensi dari perubahan peraturan itu, tambah Husni, juga melandasi perubahan waktu untuk melakukan kegiatan verifikasi faktual, beserta proses pelaksanaannya nanti. Khusus untuk Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012, hal yang menjadi fokus dalam perubahan itu menyangkut verifikasi faktual keanggotaan, dimana KPU menyatakan bahwa verifikasi faktual keanggotaan akan dilakukan untuk membuktikan apakah keberadaan keanggotaan parpol secara administratif dan faktual nyata ada di tingkat kabupaten/kota.

“Kita akan meneliti apakah komposisi keanggotaan 1000 atau 1/1000 berdasarkan jumlah penduduk setiap di 497 kabupaten/kota, tidak termasuk Daerah Otonom Baru (DOB) yang ditetapkan DPR baru-baru ini,” ujar Husni.

Husni juga menambahkan, KPU dalam melakukan perubahan tersebut, juga mempertimbangkan putusan MK Nomor 52/PUU/X/2012. Dalam putusan MK tersebut, pada bagian menimbangnya disebutkan bahwa dengan adanya putusan mengenai pasal-pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terutama terkait ketentuan mengenai verifikasi partai politik, maka segala sesuatu yang berakibat secara hukum dengan proses penyelenggaraan pemilu legislatif Tahun 2014 harus disesuaikan dengan tidak mengubah jadwal pemungutan suara

Hasil verifikasi administrasi kelengkapan syarat partai politik sebagai calon peserta pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014 sebagai berikut :

Pertama, parpol yang memenuhi syarat administrasi ada 16 parpol, yaitu Nasional Demokrat (NASDEM), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dan Partai Persatuan Nasional (PPN).

Kedua, parpol yang tidak memenuhi syarat administrasi ada 18 parpol, yaitu Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Kongres, Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Partai Karya Republik (PAKAR), Partai Nasional Republik (NASREP), Partai Buruh, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Republika Nusantara (REPUBLIKAN), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI-M), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Republik, Partai Kedaulatan, Partai Bhinneka Indonesia (PBI), dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI).

Husni juga mengingatkan kepada parpol yang telah memenuhi syarat administrasi agar mempersiapkan diri. Verifikasi faktual ini akan membuktikan bahwa seluruh dokumen parpol yang dinyatakan undang-undang harus diperiksa secara fisik keberadaannya di daerah.

“KPU berharap 16 parpol yang lolos verifikasi administratif ini bisa segera mempersiapkan diri untuk verifikasi faktual dan verifikasi ini hanya menyisakan satu kali perbaikan, setelah itu kita akan melakukan pemeriksaan terhadap hasil perbaikan, kemudian kita akan mengambil keputusan final mengenai parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 2014,” ujar Husni di akhir konferensi pers tersebut.
Daftar Partai yang lolos :
1. Nasdem
2. Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3. Bulan Bintang (PBB)
4. Kebangkitan Bangsa (PKB)
5. Hati Nurani Rakyat (Hanura)
6. Amanat Nasional (PAN)
7. Golongan Karya (Golkar)
8. Keadilan sejahtera (PKS)
9. Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
10. Demokrasi Pembaruan (PDP)
11. Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
12. Demokrat
13. Persatuan Pembangunan (PPP)
14. Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB)
15. Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
16. Persatuan Nasional (PPN)

Senin, 22 Oktober 2012

OLIVER ROY (Professor)

Olivier Roy (born 1949) is professor at the European University Institute in Florence, Italy. He was previously a research director at the French National Center for Scientific Research (CNRS) and a lecturer for both the School for Advanced Studies in the Social Sciences (EHESS) and the Institut d'Études Politiques de Paris (IEP). From 1984 to 2008, he has acted as a consultant to the French Foreign Ministry. In 1988, Roy served as a United Nations Office for Coordinating Relief in Afghanistan (UNOCA) consultant. Beginning in August 1993, Roy served as special OSCE representative to Tajikistan until February 1994, at which time he was selected as head of the OSCE mission to Tajikistan, a position he held until October 1994. Roy received an "Agrégation" in Philosophy and a Master's in Persian language and civilization in 1972 from the French Institut National des Langues et Civilisations Orientales. In 1996, he received his PhD in Political Science from the IEP. Roy is the author of numerous books on subjects including Iran, Islam, Asian politics. These works include Globalized Islam: The search for a new ummah , Today's Turkey: A European State? and The Illusions of September 11. He also serves on the editorial board of the academic journal Central Asian Survey. His best-known book, L'Echec de l'Islam politique (1992) (The Failure of Political Islam ) (1994), is a standard text for students of political Islam. Roy wrote widely on the 2005 civil unrest in France, rebutting the suggestion that the violence was religiously inspired. His book Secularism Confronts Islam (Columbia, 2007) offers a perspective on the place of Islam in secular society and looks at the diverse experiences of Muslim immigrants in the West. Roy examines how Muslim intellectuals have made it possible for Muslims to live in a secularized world while maintaining the identity of a "true believer." In 2010 he published "Holy Ignorance, When Religion and Culture Part Ways" an analysis of religion, ethnicity and culture and the results when these part ways.

Rabu, 17 Oktober 2012

Pelihara Eksistensi Partai Dengan Program Pemberdayaan Ummat.

Lama kelamaan jengah juga rasanya mendengar celotehan politisi yang sangat optimistis akan mendapatkan kenaikan suara pada Pemilu tahun 2014 yang akan datang, dan mencapai terget sejuta ummat. Sepertinya logika yang digunakan adalah rasa prustasi sebagian kader PKB, PKS dan PAN yang menunjukkan trend semakin menasionalis, yang kedua ketidak ikutan Partai Islam gurem karena tidak memenuhi persyaratan sleksi prakualifikasi, ditambah lagi dengan pemilih tradisional yang fanatik terhadap partai Islam. Sungguh suatu pemikiran yang lebai. Kita tidak boleh mempertahankan mindset yang sesat ini untuk mempertahankan eksistensi partai.

Sejatinya kita prihatin manakala banyak kader PKB, PKS dan PAN yang mangkir, lantaran partai partai itu mengarah ke nasionalis. Bagi lita paratia partai itu tetap saja sebagai partai Islam setidaknya memiliki kaitan historis dan basis komunitas yang Islam, dan kita juga yakin bahwa sebagian para pengurus partai serta wakil di legislatif masih memiliki komitmen keislaman yang cukup kental, oleh karenanya yang harus diupayakan adalah bagaimana partai Islam dan partai yang berbasis ummat Islam ini mampu mengembangkan eksistensinya, bukan dengan cara meninggalkan eksistensi keislaman serta menggantinya dengan aroma kenasionalisan, atau ketiban pulung mendulang simpati atas kekecewaan terhadap partai Islam lainnya. Dan kita juga harus memelihara agar politisi islam tidak terjebak dalam sikap kutu loncat.

Eksistensi partai Islam hanya dapat dipertahankan dengan pemberdayaan ummat Islam, peningkatan mutu pendidikan Islam, serta profesionalisme organisaso Islam, PPP, PKB, PKS dan PAN akan menjadi berkembang sejalan dengan berkembangnya pendidikan, lembaga dan masyarakat Islam, pendidikan Islam semakin bermutu, lembaga dan organisasi Islam semakin profesional dan masyarakat Islam semakin mandiri. Bagi masyarakat kini yang cenderung oportunis, maka perkara aliran tidaklah terlalu mereka hiraupan, mereka lebih cendrung bersikap fragmatis, yang berkeuntungan tunai, kini dan di sini. Oleh karenanya maka pembinaan ummat akan semakin berat, kita harus kembali meluruskan mindset ummat sambil memberdayakannya. Ummat yang sudah terlanjur dimanjakan dengan amplop setiap kali Pemilu, Pilpres dan Pilkada Gubernur maupun Bupati/ Walikota. Saya sangat kecewa sekali ketika ada kader suatu daerah yang menawarkan kepada saya bantuan jasa untuk pemilihan legislatif dengan minimal Rp.150 juta, uang sejumlah itu mampu bersaing dengan dengan calon partai lainnya, yang menurutnya juga mempersiapkan uang sejumlah itu. Perhitungan itu didasarkan atas keberhasilan para calon dari berbagai partai pada pemilu tahun 2009 yang lalu. Mereka katanya menghabiskan data sebenasr itu. Subhanallah, dengan demikian tugas kita bukan hanya sekedar dua, tetapi ternyata adalah tiga. karena yang ketiga adalah meluruskan mindset para kader, agar tidak mengikuti praktik kotor para politisi yang melancarkan politik uang. Karena melaksanakan politik uang adalah cara yang paling ampuh untuk menghancurkan kedaylatan bangsa. Praktek kotor ini harus segera diperangi bersama, kita berharap agar PPP sebagai Partai yang masih mempertahankan azas Islam, serta PKB,PKS dan PAN yang secara historis terkait ummat Islam sebagai basisnya, bersama sama bahu membahu memerangi praktek polituik uang ini. Biarlah perolehan suara tidak mengalami kenaikan secara signifikan, tetapi manakala genderang perang dan derap langkah partai partai ini dalam memerangi praktek kotor politik uang, maka itu akan dicatat sejarah dengan tinta emas. Dan lembaran mulia ini akan lebih masyhur lagi manakala kita telah melakukan pemberdayaan ummat, sehingga mampu memilah milah dalam menggunakan hak civicsnya selaku anggota warganegara. serta meningkat kesejahteraannya, sehingga tidak lagi menghiba untuk mendapatkan uang receh yang sengaja ditebar untuk pemenangan sebuah pemilihan yang sejatinya mulia itu.

Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Aplikasi Program “posdaya”

Desa merupakan penyumbang bahan makanan pokok bagi masyarakat perkotaan, disamping itu masyarakat desa juga sebagai penyuplai tenaga kerja baik untuk industri ataupun bisnisdan rumah tangga untuk perkotaan. Tetapi, subangsih masyarakat desa tersebut tidak diikuti oleh kesejaheraan masyarakat desa dalam berbagai bidang sepeti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Kalau diamati lebih jauh lagi, kita akui bahwa jumlah rasio wilayah antara kota dan desa. Dapat dikatakan lebih luas di desa, tetapi jika kita hanya menunggu kucuran bantuan dari anggaran pemerintan yang saat ini masih terpusat pada pembangungan didaerah perkotaan. Maka dari itu, masyarakat desa jangan terlalu menggantungkan terhadap kucuran bantuan dari pemerintah, diperlukan suatu usaha dari masyarakat desa khususnya kolaborasi antara pemintah daerah, perguruan tinggi, dan pelaku usaha untuk memperdayakan masyarakat desa.
 
Program yang dimaksudkan ialah POSDAYA yaitu Program Pemberdayaan Keluarga. POSDAYA sendiri terdiri dari 4 bidang yaitu kesehatan, ekonomi atau kewirausahaan, pendidikan, dan lingkungan. Program ini pertama kali dicetuskan oleh Yayasan Damandari yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengapdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Program POSDAYA ini pada awalnya diujicobakan pada beberapa desa di Kabupaten Purbalingga, tetapi melihat pencapaian dari program ini yang baik, maka program ini dilanjutkan hingga saat ini ke beberapa Kabupaten di Daerah Tawa Tengah. Penjelasan rinci dari setiap program POSDAYA sendiri ialah terdiri sebagai berikut:

1. Bidang Kesehatan, bidang ini merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi masyarakat, tetapi indeks kesadaran masyarakat desa untuk secara rutin memperhatikan aspek kesehatannya masih sangat rendah, kesehatan sendiri berupa kesehatan dalam kebiasaan hidup sehat. Untuk bidang kesehatan sendiri terdiri dari beberapa program strategik, yakni:
· Senam sehat setiap minggu
· Posyandu lansia dan balita
· PHBS bagi anak-anak sekolah
· Ambulan desa
· Bina kesehatan remaja (Olahraga)

2. Bidang Pendidikan, bidang ini juga merupakan salah bagian terpenting bagi proses pemberdayaan masyarakat. Tetapi yang terjadi di masyrakat desa ialah masyarakat masih enggan menyekolahkan anaknya minimal pada pendidikan usia dini, hal tersebut diakibatkan karena faktor edukasi masyarakat desa bahwa pendidikan ialah hal yang mahal dan pemahaman bahwa pendidikan tinggi malah membuat mereka sulit untuk memperoleh pekerjaan. Bidang pendidikan ini, lebih memfokuskan pada pengembangan dan pendukung pendidikan pada anak-anak usia dini yang murah. Program tersebut yaitu:
· PAUD
· TPQ
· Perpustakaan Desa

3. Bidang Ekonomi atau kewirausahaan, pada bidang ini masyarakat desa terkenal dengan keuletannya tetapi mereka perlu memperoleh binaan untuk memacu kreatifitasnya. Disamping itu masyarakat desa terjebak dengan manajemen keuangan keluarga yang tidak efisien dan banyaknya potensi yang ada di desa yang belum didayagunakan untuk menjadi produk unggulan. Program tersebut yaitu:
· Koperasi.
· Kelompok tani.
· Home Industri
· Pembinaan kewirausahaan
· Manajemen keuangan keluarga

4. Bidang lingkungan, pada bidang ini merupakan bidang yang terbaru pada program posdaya. Alsan mendasar munculnya bidang ini ialah karena kesadaran masyarakat desa yang rendah dan cenderung sedikit apatis terhadap konidi lingkungan, disamping itu didaerah desa memiliki halaman pekarangan yang sangat luas tetapi lahan yang sangat luas tersebut tidak diikuti oleh pemanfaatan lahan yang masih minim sehingga jika dimanfaatkan dengan optimal akan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat desa. Lingkungan disini diartikan sebagai lingkungan fisik yang ada dimasyarakat desa yaitu berupa: halaman, pepohonan, dll. Program tersebut yaitu:
· Intensifikasi pekarangan
· Tanaman gizi
· Tanaman toga
· Kolam ikan menggunakan media terpal ataupun kolam tanah
Keempat program posdaya diatas dapat bersinergi melalui kerjasama antara aparatur ataupun dinas pemerintahan pada tingkat desa dengan masyarakat desa, yang dimana didukung oleh pelaku usaha dan perguruan tinggi sebagai pemegang konsep. Sehingga akan terwujud masyarakat desa yang maju dalam hal pola pikir, kesehatan, dan kesejahteraan serta terciptanya kebermanfaatan lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat desa.
Feby Dwi Sutianto
Sumber : KOMPASIANA

Selasa, 16 Oktober 2012

Cuplikan sejarah PPP dalam lintas Politik Nasional

PPP Dalam Lintasan Perpolitikan Nasional
Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai Islam, Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Perti.

PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah;

  • KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
  • H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
  • Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
  • Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
  • Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984.
Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.
Sesuai dengan Anggaran Dasar PPP yang dihasilkan Muktamar V tahun 2003, pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan Partai Persatuan Pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir bathin dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah ridho Allah Subhanahu Wata'ala.

Menurut pasal 4 Anggaran Dasar PPP usaha PPP adalah :

(1) Untuk mencapai tujuan, Partai Persatuan Pembangunan melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Melaksanakan ajaran Islam dalam hidup perorangan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Mendorong terciptanya iklim yang sebaik-baiknya bagi terlaksananya kegiatan peribadatan menurut syariat Islam.
c. Memupuk ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basariyah untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dalam segala kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan.
d. Menegakkan, membangun dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Memperluas dan memperdalam pengetahuan rakyat supaya lebih sadar akan hak dan kewajibannya selaku warganegara dari Negara Hukum yang merdeka, berdaulat, demokratis, dan menghormati Hak Asasi Manusia.
f. Menggairahkan partisipasi seluruh rakyat dalam pembangunan Negara dan mengusahakan adanya keseimbangan pembangunan rohani dan jasmani.
g. Mengadakan kerjasama dengan partai-partai politik dan golongan masyarakat lainnya untuk mencapai tujuan bersama atas dasar toleransi dan harga menghargai.
h. Memberantas paham komunisme/atheisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Islam dan Pancasila.
i. Turut memelihara persahabatan antara Republik Indonesia dengan Negara-negara atas dasar hormat menghormati dan bekerja sama menuju terwujudnya perdamaian dunia yang adil dan beradab.
j. Melaksanakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan partai.

(2) Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara demokratis dan konstitusional.
Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjadi Ketua Umum, sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai mengundurkan diri tahun 1978. Selain jabatan Ketua Umum pada awal berdirinya PPP juga mengenal presidium partai yang terdiri dari KH.Idham Chalid sebagai Presiden Partai, H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Drs.H.Th.M.Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur, masing-masing sebagai Wakil Presiden.
Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H. Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika H.Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.
Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah H. Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun 1994.
Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP PPP, yang dipercayakan muktamar kepada mantan Sekjen DPP PPP, H. Alimawarwan Hanan,SH.
Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah H. Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 dengan Sekretaris Jenderal H. Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum dipercayakan oleh muktamar kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy.

PPP sudah mengikuti sebanyak enam kali sejak tahun 1977 sampai pemilu dipercepat tahun 1999[1] dengan hasil yang fluktuatif, turun naik.
  • Dilihat dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1977 PPP meraih 18.745.565 suara atau 29,29 persen). Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen dari 360 kursi yang diperebutkan
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.800 suara atau 27,78 persen. Dari perolehan kursi, PPP mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1987 PPP meraih 13.701.428 suara arau 15,97 persen. Sedangkan dari perolehan kursi, PPP meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1992 PPP meraih 16.624.647 suara atau 14,59 persen. Dari sisi perolehan kursi PPP meraih 62 kursi atau 15,50 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1997 PPP meraih 25.340.018 suara. Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 89 kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1999 PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764 atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP tetap meraih 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi yang diperebutkan.
  • Pada Pemilu 1977, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 84,62 persen dari 26 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
  • Pada Pemilu 1982, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 1987, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 1992, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
  • Pada Pemilu 1997, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
  • Pada Pemilu dipercepat tahun 1999, PPP meraih kursi pada 24 provinsi atau 88,88 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 2004, PPP meraih kursi pada 23 provinsi atau 69.69 persen dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua .

    Selama pemilu yang diselenggarakan pemerintahan otoriter Orde Baru, PPP selalu berada dalam keadaan tertindas, kader-kader PPP dengan segala alat kekuasaan Orde Baru dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan dianiaya. Selama masa Orde Baru banyak kader-kader PPP terutama di daerah yang ditembak, dipukul, dan malah ada yang dibunuh. Saksi-saksi PPP diancam, suara yang diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi untuk kemenangan Golkar, mesin politik Orde Baru. Jadi kalau ada yang menyatakan PPP adalah bagian dari Orde Baru, mereka yang menyatakan itulah yang justru antek-antek Orde Baru atau mereka yang selama ini bersembunyi di balik ketiak Orde Baru. ( Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 adalah pemilu di bawah rezim Orde Baru yang otoriter, di mana peserta pemilu hanya PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu 1999 adalah pemilu rezim reformasi dengan peserta 48 partai politik).

Can Political Islam Reform "Islamic Finance"?




Islamic Finance

In recent days, as the IMF and Egypt continue to negotiate a potential $4.8 billion loan at 1.1% interest, first the Salafi Nur Party has issued a statement that this interest is not forbidden riba, and then another Salafi preacher has issued a similar statement.

(Tuesday, August 28, Update: the next day, the debate has been rejoined, with Salafis reasserting the prohibition of all interest bearing loans and bemoaning the expected social effects of typical conditionality of IMF loans... The Office of the President announced that the loan has no conditionality and that its interest rate is the absolute minimum required to cover actual costs of administration. The statement mentioned that the only remaining details to cover are the specific projects to be financed by the loan and then it will be advanced... The argument that this is not really riba because it only covers the Fund's administrative costs was heavily used in the opinions expressed yesterday and linked in the first paragraph).

This reminded me of a question that I asked myself in February 2012 in the piece reproduced below. The story of this piece is interesting: A famous current political affairs magazine solicited an article on Islamic finance from a more severe academic critic, who referred them to me. I wrote the requested piece, but then never heard back from them, and they didn't even reply to my query email a month later.  I guess this is my catch-22: I am not critical enough for some and too critical for others.

At any rate, here is the piece that I wrote and submitted to that magazine on February 12, 2012. There was a 2,500 word limit, so the argument can clearly be fleshed out more. The current developments cited in the first paragraph suggest that the question may be quite relevant. The piece is dated in may respects, but many points are still worth considering.

--- February 12, 2102 --- Will Political Islam Reform "Islamic Finance"?


Throughout the Islamic world, Islamists have gained political power through ballot boxes, alliances with military leaders, or both. Examples of the first include political successes of Islamist parties in Malaysia and Turkey. Examples of the second include Khomeini’s successful incorporation of the armed forces to serve Iran’s Islamic revolution and the earlier success of General Zia-ul-Haq to incorporate Islamism – to many Pakistanis the raison d’etre for their nation state – to legitimize his military rule. Fluid situations in post-revolutionary North Africa, especially in Egypt, exhibit Islamist electoral successes under emerging grand bargains with military elites.

It is safe to assume that Islamist political gains will translate into growth of “Islamic finance,” especially in countries where secular rulers had for decades feared Islamists and sought to limit their economic power. Whether these countries pursue Islamist economic agendas that are substantially different from the dominant paradigm remains to be seen. The toppled governments in Tunisia and Egypt had been following neoliberal agendas while protecting bloated public sectors and directing state bank lending in imitation of “capitalism with Chinese characteristics.” It is unlikely that Islamist governments can deviate substantially from this agenda. Their appeal to the public who voted for them will therefore drive them to seek legitimacy quickly by containing rampant corruption in highly visible ways, and promoting well-understood mechanics of an “Islamic finance” sector that has grown exponentially fast in recent decades.

Islamic finance is the child of a brand of Islamism that became dominant in the second half of the twentieth century and the petrodollars that supported that brand. Its ideological origins date to the mid-twentieth century when Islamist intellectuals in newly independent South-Asian and Arab countries sought to rid their societies of Western banking practices that were introduced during the Ottoman and European colonial periods. The first major wave of petrodollars in the late 1970s transformed the Utopian dreams of these Islamist intellectuals into a practical industry that utilized forms of legal arbitrage to restructure banking practices using primarily credit sale and lease contracts, wherein price markup and pure rent components mimic interest payments in ways that were claimed to be different from interest bearing loans.

During the new millennium, growth in Islamic finance was powered by a second wave of petrodollar flows, as well as the tools of structured finance perfected during the 1990s by Anglo-American lawyers and investment bankers to arbitrage tax laws. For example, a financial lease buyback was used by some Western corporations to exploit financial and tax benefits in paying interest on financial leases off balance sheet. The return on mastering these techniques declined as the structures became easier to implement, and more importantly after the collapse of Enron. Fortunately for the financial engineers who had perfected this craft of legal arbitrage, the Middle East had trillions of petrodollars that potentially aimed to earn yield that is not characterized as interest on loans.

In order to understand the phenomenon of Islamic finance, and to anticipate potential directions for Islamist parties outside of its traditional growth market, we need to review the historical roots of Islamism. Many believe that Islamism arose as a consequence of the Islamic world’s traumatic encounter with modernity – which inspired Bernard Lewis’s book title: What Went Wrong? Because different societies encountered modernity in different ways, Islamism also took different forms in various nascent nation states.

In the interest of brevity, I shall focus only on two forms of Middle-East Islamism, which have paradoxically shared the same name: Salafism – following the path of the earliest Muslims. The first Salafism was born in the heart of eighteenth century Arabia. The cleric Muhammad ibn Abdul-Wahhab returned from today’s Southern Iraq disenchanted with different Islamic and secular practices, and eventually formed an alliance with Muhammad Al-Saud in 1744, which enabled the first Saudi state to make substantial military conquests Northward into Southern Iraq and Westward to the holy cities of Makkah and Madinah. This alliance has continued through multiple Al Saud monarchies.
The official religious doctrine of Saudi Arabia and countries in her immediate domain of influence has therefore been the Salafism of ibn Abdul-Wahhab, which most importantly aimed to fight every innovation in religion, not only in the form of theological rejection of Shiite and Sufi practices, but also rejection of innovations in everyday life. This extended in early years to rejection of the telegraph, the telephone, and the like, which were eventually accepted. Conventional banking was also eventually – albeit uncomfortably – tolerated, and almost all banking in Saudi Arabia and her neighbors followed Western practices until quite recently, although religious-law (Shari`a) courts were prone to overrule civil codes that allowed banking transactions. The compromise was “Islamic finance” which uses traditional contracts such as sales and leases to restructure bank transactions in ways approved by religious scholars – some of whom were retained as consultants for the emerging industry, especially in upstart oil-poor emirates like Bahrain and Dubai that compete to attract petrodollars.

The Salafi parties that won roughly one quarter of the seats in the recent Egyptian parliamentary elections belong to this Saudi sphere of influence. Their ideal economic agenda would be simply to encourage “Islamic finance” institutions and contracts wherever possible, and otherwise follow a model of capitalism that is a hybrid between the Chinese model (to utilize pools of unemployment and underemployment) and the Dubai model (to capitalize on synergies with petrodollar-rich Arab countries). Both models rely on “trickle-down” expectations that may not be sufficient for countries with high levels of unemployment and poverty, especially if Chinese-style rates of per capita GDP growth cannot be sustained. Indeed, one can argue that the failure of this hybrid (Chinese-Dubai) model in Tunisia and Egypt – which was moderately successful in recent years but failed to generate Chinese-like growth rates of per capita income – precipitated the overthrow of their respective regimes, as the authoritarian bargain became untenable. This problem does not exist for oil-rich countries or neighboring low population emirates, which can be sustained by oil rents for decades to come.
This brings us to the other type of Islamism represented in the Muslim Brotherhood, whose party has won nearly half the seats in the Egyptian parliament and whose offshoots have had similar success in Tunisia and elsewhere. The Brotherhood was born in Egypt in 1928, under the influence of a brand of official religious Salafism that embraced modernity – exemplified by Muhammad Abduh, the turn of the century Grand Mufti of Egypt, who fought against British colonialism and advocated for a modern nation state that reflects the historical and cultural roots of his people.

The Brotherhood was born under the influence of this thought, and embarked on social and occasionally political work to pave the road for an Islamic state. Its repression during the 1950s and 1960s by the Nasser regime led to closer ties with oil-rich gulf monarchies, but created an uneasy fraternity with Saudi-style Salafism, which was largely apolitical. Egyptians thus complained that petrodollars were financing an alien brand of Islamism that focused on seemingly superficial issues of dress and grooming, and the like, while ignoring issues of social justice and political reform. Saudi officials likewise resented the fact that they embraced and protected Brotherhood activists only for the latter to politicize segments of their religious public. Political ramifications of this competition among Islamist worldviews have been many and will continue to be important, but we should now refocus the discussion on finance as a case study for this tension.

The strongest driving force for Islamic finance is the Islamic prohibition of riba (the equivalent of the Hebrew ribit, and Islamic scripture explicitly identifies the prohibition as Biblical). Utopian Islamist intellectuals of the mid-twentieth century interpreted this prohibition to encompass all types of interest and envisioned a financial system built entirely on equity finance – which many continue to this day to extoll as the Islamic ideal. The justification for prohibition of interest on debts in classical Islamic jurisprudence and modern Islamic economics is based on equity considerations. Earning interest on one’s capital allows the rich to get richer unjustly, the argument went, reminiscent of the Aristotelian doctrine that capital is sterile (money cannot – or should not – beget money), which was not surprisingly adopted in the Catholic doctrine of usury and later Islamic understanding of the prohibition of riba.

It is important to recall that the roots of the ancient law of usury (in the Hebrew Bible and later in the Qur’an) emerged in nomadic societies, many aspects of which are preserved in religious laws and rituals. For instance, in the Islamic rules for pilgrimage, the Qur’an explicitly forbids the pilgrims in a state of ritual purity from engagement in hunting. At the end of the rites of Hajj, an animal sacrifice is made, and the meat must be distributed in equal shares of one third between the poor, one’s friends and family, and one’s own household. Highly regimented distribution of meat, in particular, as well as redistributive mechanisms such as alms taken from the rich and given to the poor, are the hallmarks of traditions that evolved from hunter-gatherer social structures (e.g., in the Arabian Peninsula) that ethnographers have identified as the most egalitarian. In this regard, economists Edward Glaeser and Jose Scheinkman have argued persuasively that usury laws were forms of social insurance for predominantly poor ancient societies.

This brings us back to Arab revolutions and the rise of Islamists. I recall over the past few years that many economists in international financial institutions and think tanks were perplexed by the pitch of complaints in Arab countries, where the plight of the poor was significantly better than in many Latin American and Asian countries. Of course, the authoritarian bargain that these experts expected to last much longer has proved untenable, and the revolutions were not led by the poor, but rather by the educated middle classes of these countries. Although the latter have been generally secular in their political outlook, they were driven by egalitarian considerations that featured prominently in their slogans. Revolutionary youths may have been dismayed by the public vote for Islamists, but those who voted for Islamists were indeed voting out of the very same cultural demands for egalitarianism and justice, which they conflated with religious piety.

Of course, many now acknowledge the need for greater egalitarianism, surprisingly including the International Monetary Fund, because long-term efficiency cannot be ensured without political stability, which in turns requires a sustainable social contract. Likewise, some regulatory elements of the ancient law, for example, limits on leverage and debt imposed by the size of underlying real economic activity, would enhance long-term stability and efficiency even if they limit short-term growth. The Great Recession that contributed partially to the timing of Arab revolts was a consequence of the financial deregulation wave starting in the 1980s that led to multiple bubbles and crashes and continues to pose a major threat of another Great Depression. “Islamic finance” has been a full culprit in this deregulation trend, providing demand for various assets (including mortgage backed securities) and contributing to the under-pricing of credit risk.

Usurers have always used multiparty asset-based financial structures to rob the ancient law of its substance. Thus, if the law forbade the usurer from lending a needy person with exorbitant interest, he would sell him a piece of cloth with a credit price equal to price plus interest. A neighboring merchant would dutifully buy the cloth back from the debtor at market price, thus circumventing the law (Islamic banks currently use this ancient trick known as tawarruq). Rafik Al-Misri, a Professor at King Abdulaziz University in Saudi Arabia, has beseeched his readers to please call the markup “interest” so that a ceiling may be imposed by secular usury law, otherwise it would be impossible to put a ceiling on ostensible “profit rates” in contrived credit sales.

For higher-level finance, the rules for issuing bonds known as sukuk may seem to limit debt to the value of real underlying assets, for example, through selling an asset to a special purpose vehicle that leases it to the sukuk holders and then sells it back to the original owner at maturity. However, as legal experts try to “perfect” the bond issuance so that only credit risk remains, the real value of the underlying asset becomes immaterial. In the extreme, the industry that generates debt by selling such bonds might fuel the overvaluation of assets with which one can generate more debt through buy-sell-lease-buyback-sell. The capacity to subvert the egalitarian and prudential regulatory content of the ancient law is thus fully realized in “Islamic finance.”

In the meantime, by the admission of its own champions and practitioners, Islamic finance has not focused on helping to alleviate poverty or reduce unemployment. It has mainly served elites by synthesizing modern financial transactions from pre-modern contract forms – often to chase past returns on various asset classes that had not yet been “Islamized.” To the extent that poor and unemployed Muslims may demand financial products that are structured likewise from pre-modern contracts, one may justify efforts by the Islamic Development Bank and the World Bank’s International Finance Corporation to develop such products. Unfortunately, the decades-long track record of these organizations remains very disappointing, as some of their own studies have estimated that half of the world’s Muslims continue to live below the poverty line of $2 per day.

The ideological and religious motivation for Islamic finance emerged from the egalitarian agendas of political Islamists, exemplified by the Muslim Brotherhood and its sister organizations. However, the development of practical Islamic finance was financed by petrodollars and prospered in countries where Islamists generally focused more on the way finance was conducted (pre-modern juristic legal status of contracts) rather than the objectives of finance. As the two types of Islamism cooperate and/or compete for setting economic agendas, the sociopolitical agenda of the political Islamists may redirect Islamic finance, most likely retaining the emphasis on contract forms but also placing greater emphasis on the objectives of finance. The example of Turkey’s Islamist business community, such as members of the industrialist association MUSIAD, who supported and benefited from the political rise of Prime Minister Erdogan in Istanbul and nationally, is quite similar to networks of Brotherhood businesses that were occasionally attacked by secular Arab governments but many of which survived nonetheless.
Political Islamists can follow one of three financial paths. They may simply replicate the pietist “Islamic finance” that serves identity politics and little else. They may also choose to create Islamic subeconomies, as Timur Kuran has argued, but still fail to provide broader economic development for their countries. Hopefully, they may manage to solve the perennial problems of financial disintermediation and succeed finally in growing the small and medium enterprise sector that can help with poverty alleviation, employment creation, and economic development. Trust networks that can facilitate this development would be akin to “relationship banking” in more advanced economies. A recent editorial in the Economist criticized this hope as merely a wish by Egypt’s Islamists. At least, it is the right wish.

Sumber : Islam and Economic

MEMPERTAHANKAN KEDALAMAN MAKNA PANCASILA

kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...