Rabu, 17 Oktober 2012

Pelihara Eksistensi Partai Dengan Program Pemberdayaan Ummat.

Lama kelamaan jengah juga rasanya mendengar celotehan politisi yang sangat optimistis akan mendapatkan kenaikan suara pada Pemilu tahun 2014 yang akan datang, dan mencapai terget sejuta ummat. Sepertinya logika yang digunakan adalah rasa prustasi sebagian kader PKB, PKS dan PAN yang menunjukkan trend semakin menasionalis, yang kedua ketidak ikutan Partai Islam gurem karena tidak memenuhi persyaratan sleksi prakualifikasi, ditambah lagi dengan pemilih tradisional yang fanatik terhadap partai Islam. Sungguh suatu pemikiran yang lebai. Kita tidak boleh mempertahankan mindset yang sesat ini untuk mempertahankan eksistensi partai.

Sejatinya kita prihatin manakala banyak kader PKB, PKS dan PAN yang mangkir, lantaran partai partai itu mengarah ke nasionalis. Bagi lita paratia partai itu tetap saja sebagai partai Islam setidaknya memiliki kaitan historis dan basis komunitas yang Islam, dan kita juga yakin bahwa sebagian para pengurus partai serta wakil di legislatif masih memiliki komitmen keislaman yang cukup kental, oleh karenanya yang harus diupayakan adalah bagaimana partai Islam dan partai yang berbasis ummat Islam ini mampu mengembangkan eksistensinya, bukan dengan cara meninggalkan eksistensi keislaman serta menggantinya dengan aroma kenasionalisan, atau ketiban pulung mendulang simpati atas kekecewaan terhadap partai Islam lainnya. Dan kita juga harus memelihara agar politisi islam tidak terjebak dalam sikap kutu loncat.

Eksistensi partai Islam hanya dapat dipertahankan dengan pemberdayaan ummat Islam, peningkatan mutu pendidikan Islam, serta profesionalisme organisaso Islam, PPP, PKB, PKS dan PAN akan menjadi berkembang sejalan dengan berkembangnya pendidikan, lembaga dan masyarakat Islam, pendidikan Islam semakin bermutu, lembaga dan organisasi Islam semakin profesional dan masyarakat Islam semakin mandiri. Bagi masyarakat kini yang cenderung oportunis, maka perkara aliran tidaklah terlalu mereka hiraupan, mereka lebih cendrung bersikap fragmatis, yang berkeuntungan tunai, kini dan di sini. Oleh karenanya maka pembinaan ummat akan semakin berat, kita harus kembali meluruskan mindset ummat sambil memberdayakannya. Ummat yang sudah terlanjur dimanjakan dengan amplop setiap kali Pemilu, Pilpres dan Pilkada Gubernur maupun Bupati/ Walikota. Saya sangat kecewa sekali ketika ada kader suatu daerah yang menawarkan kepada saya bantuan jasa untuk pemilihan legislatif dengan minimal Rp.150 juta, uang sejumlah itu mampu bersaing dengan dengan calon partai lainnya, yang menurutnya juga mempersiapkan uang sejumlah itu. Perhitungan itu didasarkan atas keberhasilan para calon dari berbagai partai pada pemilu tahun 2009 yang lalu. Mereka katanya menghabiskan data sebenasr itu. Subhanallah, dengan demikian tugas kita bukan hanya sekedar dua, tetapi ternyata adalah tiga. karena yang ketiga adalah meluruskan mindset para kader, agar tidak mengikuti praktik kotor para politisi yang melancarkan politik uang. Karena melaksanakan politik uang adalah cara yang paling ampuh untuk menghancurkan kedaylatan bangsa. Praktek kotor ini harus segera diperangi bersama, kita berharap agar PPP sebagai Partai yang masih mempertahankan azas Islam, serta PKB,PKS dan PAN yang secara historis terkait ummat Islam sebagai basisnya, bersama sama bahu membahu memerangi praktek polituik uang ini. Biarlah perolehan suara tidak mengalami kenaikan secara signifikan, tetapi manakala genderang perang dan derap langkah partai partai ini dalam memerangi praktek kotor politik uang, maka itu akan dicatat sejarah dengan tinta emas. Dan lembaran mulia ini akan lebih masyhur lagi manakala kita telah melakukan pemberdayaan ummat, sehingga mampu memilah milah dalam menggunakan hak civicsnya selaku anggota warganegara. serta meningkat kesejahteraannya, sehingga tidak lagi menghiba untuk mendapatkan uang receh yang sengaja ditebar untuk pemenangan sebuah pemilihan yang sejatinya mulia itu.

Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Aplikasi Program “posdaya”

Desa merupakan penyumbang bahan makanan pokok bagi masyarakat perkotaan, disamping itu masyarakat desa juga sebagai penyuplai tenaga kerja baik untuk industri ataupun bisnisdan rumah tangga untuk perkotaan. Tetapi, subangsih masyarakat desa tersebut tidak diikuti oleh kesejaheraan masyarakat desa dalam berbagai bidang sepeti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Kalau diamati lebih jauh lagi, kita akui bahwa jumlah rasio wilayah antara kota dan desa. Dapat dikatakan lebih luas di desa, tetapi jika kita hanya menunggu kucuran bantuan dari anggaran pemerintan yang saat ini masih terpusat pada pembangungan didaerah perkotaan. Maka dari itu, masyarakat desa jangan terlalu menggantungkan terhadap kucuran bantuan dari pemerintah, diperlukan suatu usaha dari masyarakat desa khususnya kolaborasi antara pemintah daerah, perguruan tinggi, dan pelaku usaha untuk memperdayakan masyarakat desa.
 
Program yang dimaksudkan ialah POSDAYA yaitu Program Pemberdayaan Keluarga. POSDAYA sendiri terdiri dari 4 bidang yaitu kesehatan, ekonomi atau kewirausahaan, pendidikan, dan lingkungan. Program ini pertama kali dicetuskan oleh Yayasan Damandari yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengapdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Program POSDAYA ini pada awalnya diujicobakan pada beberapa desa di Kabupaten Purbalingga, tetapi melihat pencapaian dari program ini yang baik, maka program ini dilanjutkan hingga saat ini ke beberapa Kabupaten di Daerah Tawa Tengah. Penjelasan rinci dari setiap program POSDAYA sendiri ialah terdiri sebagai berikut:

1. Bidang Kesehatan, bidang ini merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi masyarakat, tetapi indeks kesadaran masyarakat desa untuk secara rutin memperhatikan aspek kesehatannya masih sangat rendah, kesehatan sendiri berupa kesehatan dalam kebiasaan hidup sehat. Untuk bidang kesehatan sendiri terdiri dari beberapa program strategik, yakni:
· Senam sehat setiap minggu
· Posyandu lansia dan balita
· PHBS bagi anak-anak sekolah
· Ambulan desa
· Bina kesehatan remaja (Olahraga)

2. Bidang Pendidikan, bidang ini juga merupakan salah bagian terpenting bagi proses pemberdayaan masyarakat. Tetapi yang terjadi di masyrakat desa ialah masyarakat masih enggan menyekolahkan anaknya minimal pada pendidikan usia dini, hal tersebut diakibatkan karena faktor edukasi masyarakat desa bahwa pendidikan ialah hal yang mahal dan pemahaman bahwa pendidikan tinggi malah membuat mereka sulit untuk memperoleh pekerjaan. Bidang pendidikan ini, lebih memfokuskan pada pengembangan dan pendukung pendidikan pada anak-anak usia dini yang murah. Program tersebut yaitu:
· PAUD
· TPQ
· Perpustakaan Desa

3. Bidang Ekonomi atau kewirausahaan, pada bidang ini masyarakat desa terkenal dengan keuletannya tetapi mereka perlu memperoleh binaan untuk memacu kreatifitasnya. Disamping itu masyarakat desa terjebak dengan manajemen keuangan keluarga yang tidak efisien dan banyaknya potensi yang ada di desa yang belum didayagunakan untuk menjadi produk unggulan. Program tersebut yaitu:
· Koperasi.
· Kelompok tani.
· Home Industri
· Pembinaan kewirausahaan
· Manajemen keuangan keluarga

4. Bidang lingkungan, pada bidang ini merupakan bidang yang terbaru pada program posdaya. Alsan mendasar munculnya bidang ini ialah karena kesadaran masyarakat desa yang rendah dan cenderung sedikit apatis terhadap konidi lingkungan, disamping itu didaerah desa memiliki halaman pekarangan yang sangat luas tetapi lahan yang sangat luas tersebut tidak diikuti oleh pemanfaatan lahan yang masih minim sehingga jika dimanfaatkan dengan optimal akan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat desa. Lingkungan disini diartikan sebagai lingkungan fisik yang ada dimasyarakat desa yaitu berupa: halaman, pepohonan, dll. Program tersebut yaitu:
· Intensifikasi pekarangan
· Tanaman gizi
· Tanaman toga
· Kolam ikan menggunakan media terpal ataupun kolam tanah
Keempat program posdaya diatas dapat bersinergi melalui kerjasama antara aparatur ataupun dinas pemerintahan pada tingkat desa dengan masyarakat desa, yang dimana didukung oleh pelaku usaha dan perguruan tinggi sebagai pemegang konsep. Sehingga akan terwujud masyarakat desa yang maju dalam hal pola pikir, kesehatan, dan kesejahteraan serta terciptanya kebermanfaatan lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat desa.
Feby Dwi Sutianto
Sumber : KOMPASIANA

Selasa, 16 Oktober 2012

Cuplikan sejarah PPP dalam lintas Politik Nasional

PPP Dalam Lintasan Perpolitikan Nasional
Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai Islam, Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Perti.

PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah;

  • KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
  • H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
  • Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
  • Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
  • Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984.
Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.
Sesuai dengan Anggaran Dasar PPP yang dihasilkan Muktamar V tahun 2003, pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan Partai Persatuan Pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir bathin dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah ridho Allah Subhanahu Wata'ala.

Menurut pasal 4 Anggaran Dasar PPP usaha PPP adalah :

(1) Untuk mencapai tujuan, Partai Persatuan Pembangunan melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Melaksanakan ajaran Islam dalam hidup perorangan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Mendorong terciptanya iklim yang sebaik-baiknya bagi terlaksananya kegiatan peribadatan menurut syariat Islam.
c. Memupuk ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basariyah untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dalam segala kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan.
d. Menegakkan, membangun dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Memperluas dan memperdalam pengetahuan rakyat supaya lebih sadar akan hak dan kewajibannya selaku warganegara dari Negara Hukum yang merdeka, berdaulat, demokratis, dan menghormati Hak Asasi Manusia.
f. Menggairahkan partisipasi seluruh rakyat dalam pembangunan Negara dan mengusahakan adanya keseimbangan pembangunan rohani dan jasmani.
g. Mengadakan kerjasama dengan partai-partai politik dan golongan masyarakat lainnya untuk mencapai tujuan bersama atas dasar toleransi dan harga menghargai.
h. Memberantas paham komunisme/atheisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Islam dan Pancasila.
i. Turut memelihara persahabatan antara Republik Indonesia dengan Negara-negara atas dasar hormat menghormati dan bekerja sama menuju terwujudnya perdamaian dunia yang adil dan beradab.
j. Melaksanakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan partai.

(2) Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara demokratis dan konstitusional.
Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjadi Ketua Umum, sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai mengundurkan diri tahun 1978. Selain jabatan Ketua Umum pada awal berdirinya PPP juga mengenal presidium partai yang terdiri dari KH.Idham Chalid sebagai Presiden Partai, H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Drs.H.Th.M.Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur, masing-masing sebagai Wakil Presiden.
Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H. Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika H.Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.
Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah H. Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun 1994.
Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP PPP, yang dipercayakan muktamar kepada mantan Sekjen DPP PPP, H. Alimawarwan Hanan,SH.
Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah H. Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 dengan Sekretaris Jenderal H. Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum dipercayakan oleh muktamar kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy.

PPP sudah mengikuti sebanyak enam kali sejak tahun 1977 sampai pemilu dipercepat tahun 1999[1] dengan hasil yang fluktuatif, turun naik.
  • Dilihat dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1977 PPP meraih 18.745.565 suara atau 29,29 persen). Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen dari 360 kursi yang diperebutkan
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.800 suara atau 27,78 persen. Dari perolehan kursi, PPP mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1987 PPP meraih 13.701.428 suara arau 15,97 persen. Sedangkan dari perolehan kursi, PPP meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1992 PPP meraih 16.624.647 suara atau 14,59 persen. Dari sisi perolehan kursi PPP meraih 62 kursi atau 15,50 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1997 PPP meraih 25.340.018 suara. Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 89 kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 1999 PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
  • Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764 atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP tetap meraih 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi yang diperebutkan.
  • Pada Pemilu 1977, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 84,62 persen dari 26 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
  • Pada Pemilu 1982, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 1987, PPP meraih kursi pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 1992, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
  • Pada Pemilu 1997, PPP meraih kursi pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
  • Pada Pemilu dipercepat tahun 1999, PPP meraih kursi pada 24 provinsi atau 88,88 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya, dan Timur Timur.
  • Pada Pemilu 2004, PPP meraih kursi pada 23 provinsi atau 69.69 persen dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua .

    Selama pemilu yang diselenggarakan pemerintahan otoriter Orde Baru, PPP selalu berada dalam keadaan tertindas, kader-kader PPP dengan segala alat kekuasaan Orde Baru dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan dianiaya. Selama masa Orde Baru banyak kader-kader PPP terutama di daerah yang ditembak, dipukul, dan malah ada yang dibunuh. Saksi-saksi PPP diancam, suara yang diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi untuk kemenangan Golkar, mesin politik Orde Baru. Jadi kalau ada yang menyatakan PPP adalah bagian dari Orde Baru, mereka yang menyatakan itulah yang justru antek-antek Orde Baru atau mereka yang selama ini bersembunyi di balik ketiak Orde Baru. ( Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 adalah pemilu di bawah rezim Orde Baru yang otoriter, di mana peserta pemilu hanya PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu 1999 adalah pemilu rezim reformasi dengan peserta 48 partai politik).

Can Political Islam Reform "Islamic Finance"?




Islamic Finance

In recent days, as the IMF and Egypt continue to negotiate a potential $4.8 billion loan at 1.1% interest, first the Salafi Nur Party has issued a statement that this interest is not forbidden riba, and then another Salafi preacher has issued a similar statement.

(Tuesday, August 28, Update: the next day, the debate has been rejoined, with Salafis reasserting the prohibition of all interest bearing loans and bemoaning the expected social effects of typical conditionality of IMF loans... The Office of the President announced that the loan has no conditionality and that its interest rate is the absolute minimum required to cover actual costs of administration. The statement mentioned that the only remaining details to cover are the specific projects to be financed by the loan and then it will be advanced... The argument that this is not really riba because it only covers the Fund's administrative costs was heavily used in the opinions expressed yesterday and linked in the first paragraph).

This reminded me of a question that I asked myself in February 2012 in the piece reproduced below. The story of this piece is interesting: A famous current political affairs magazine solicited an article on Islamic finance from a more severe academic critic, who referred them to me. I wrote the requested piece, but then never heard back from them, and they didn't even reply to my query email a month later.  I guess this is my catch-22: I am not critical enough for some and too critical for others.

At any rate, here is the piece that I wrote and submitted to that magazine on February 12, 2012. There was a 2,500 word limit, so the argument can clearly be fleshed out more. The current developments cited in the first paragraph suggest that the question may be quite relevant. The piece is dated in may respects, but many points are still worth considering.

--- February 12, 2102 --- Will Political Islam Reform "Islamic Finance"?


Throughout the Islamic world, Islamists have gained political power through ballot boxes, alliances with military leaders, or both. Examples of the first include political successes of Islamist parties in Malaysia and Turkey. Examples of the second include Khomeini’s successful incorporation of the armed forces to serve Iran’s Islamic revolution and the earlier success of General Zia-ul-Haq to incorporate Islamism – to many Pakistanis the raison d’etre for their nation state – to legitimize his military rule. Fluid situations in post-revolutionary North Africa, especially in Egypt, exhibit Islamist electoral successes under emerging grand bargains with military elites.

It is safe to assume that Islamist political gains will translate into growth of “Islamic finance,” especially in countries where secular rulers had for decades feared Islamists and sought to limit their economic power. Whether these countries pursue Islamist economic agendas that are substantially different from the dominant paradigm remains to be seen. The toppled governments in Tunisia and Egypt had been following neoliberal agendas while protecting bloated public sectors and directing state bank lending in imitation of “capitalism with Chinese characteristics.” It is unlikely that Islamist governments can deviate substantially from this agenda. Their appeal to the public who voted for them will therefore drive them to seek legitimacy quickly by containing rampant corruption in highly visible ways, and promoting well-understood mechanics of an “Islamic finance” sector that has grown exponentially fast in recent decades.

Islamic finance is the child of a brand of Islamism that became dominant in the second half of the twentieth century and the petrodollars that supported that brand. Its ideological origins date to the mid-twentieth century when Islamist intellectuals in newly independent South-Asian and Arab countries sought to rid their societies of Western banking practices that were introduced during the Ottoman and European colonial periods. The first major wave of petrodollars in the late 1970s transformed the Utopian dreams of these Islamist intellectuals into a practical industry that utilized forms of legal arbitrage to restructure banking practices using primarily credit sale and lease contracts, wherein price markup and pure rent components mimic interest payments in ways that were claimed to be different from interest bearing loans.

During the new millennium, growth in Islamic finance was powered by a second wave of petrodollar flows, as well as the tools of structured finance perfected during the 1990s by Anglo-American lawyers and investment bankers to arbitrage tax laws. For example, a financial lease buyback was used by some Western corporations to exploit financial and tax benefits in paying interest on financial leases off balance sheet. The return on mastering these techniques declined as the structures became easier to implement, and more importantly after the collapse of Enron. Fortunately for the financial engineers who had perfected this craft of legal arbitrage, the Middle East had trillions of petrodollars that potentially aimed to earn yield that is not characterized as interest on loans.

In order to understand the phenomenon of Islamic finance, and to anticipate potential directions for Islamist parties outside of its traditional growth market, we need to review the historical roots of Islamism. Many believe that Islamism arose as a consequence of the Islamic world’s traumatic encounter with modernity – which inspired Bernard Lewis’s book title: What Went Wrong? Because different societies encountered modernity in different ways, Islamism also took different forms in various nascent nation states.

In the interest of brevity, I shall focus only on two forms of Middle-East Islamism, which have paradoxically shared the same name: Salafism – following the path of the earliest Muslims. The first Salafism was born in the heart of eighteenth century Arabia. The cleric Muhammad ibn Abdul-Wahhab returned from today’s Southern Iraq disenchanted with different Islamic and secular practices, and eventually formed an alliance with Muhammad Al-Saud in 1744, which enabled the first Saudi state to make substantial military conquests Northward into Southern Iraq and Westward to the holy cities of Makkah and Madinah. This alliance has continued through multiple Al Saud monarchies.
The official religious doctrine of Saudi Arabia and countries in her immediate domain of influence has therefore been the Salafism of ibn Abdul-Wahhab, which most importantly aimed to fight every innovation in religion, not only in the form of theological rejection of Shiite and Sufi practices, but also rejection of innovations in everyday life. This extended in early years to rejection of the telegraph, the telephone, and the like, which were eventually accepted. Conventional banking was also eventually – albeit uncomfortably – tolerated, and almost all banking in Saudi Arabia and her neighbors followed Western practices until quite recently, although religious-law (Shari`a) courts were prone to overrule civil codes that allowed banking transactions. The compromise was “Islamic finance” which uses traditional contracts such as sales and leases to restructure bank transactions in ways approved by religious scholars – some of whom were retained as consultants for the emerging industry, especially in upstart oil-poor emirates like Bahrain and Dubai that compete to attract petrodollars.

The Salafi parties that won roughly one quarter of the seats in the recent Egyptian parliamentary elections belong to this Saudi sphere of influence. Their ideal economic agenda would be simply to encourage “Islamic finance” institutions and contracts wherever possible, and otherwise follow a model of capitalism that is a hybrid between the Chinese model (to utilize pools of unemployment and underemployment) and the Dubai model (to capitalize on synergies with petrodollar-rich Arab countries). Both models rely on “trickle-down” expectations that may not be sufficient for countries with high levels of unemployment and poverty, especially if Chinese-style rates of per capita GDP growth cannot be sustained. Indeed, one can argue that the failure of this hybrid (Chinese-Dubai) model in Tunisia and Egypt – which was moderately successful in recent years but failed to generate Chinese-like growth rates of per capita income – precipitated the overthrow of their respective regimes, as the authoritarian bargain became untenable. This problem does not exist for oil-rich countries or neighboring low population emirates, which can be sustained by oil rents for decades to come.
This brings us to the other type of Islamism represented in the Muslim Brotherhood, whose party has won nearly half the seats in the Egyptian parliament and whose offshoots have had similar success in Tunisia and elsewhere. The Brotherhood was born in Egypt in 1928, under the influence of a brand of official religious Salafism that embraced modernity – exemplified by Muhammad Abduh, the turn of the century Grand Mufti of Egypt, who fought against British colonialism and advocated for a modern nation state that reflects the historical and cultural roots of his people.

The Brotherhood was born under the influence of this thought, and embarked on social and occasionally political work to pave the road for an Islamic state. Its repression during the 1950s and 1960s by the Nasser regime led to closer ties with oil-rich gulf monarchies, but created an uneasy fraternity with Saudi-style Salafism, which was largely apolitical. Egyptians thus complained that petrodollars were financing an alien brand of Islamism that focused on seemingly superficial issues of dress and grooming, and the like, while ignoring issues of social justice and political reform. Saudi officials likewise resented the fact that they embraced and protected Brotherhood activists only for the latter to politicize segments of their religious public. Political ramifications of this competition among Islamist worldviews have been many and will continue to be important, but we should now refocus the discussion on finance as a case study for this tension.

The strongest driving force for Islamic finance is the Islamic prohibition of riba (the equivalent of the Hebrew ribit, and Islamic scripture explicitly identifies the prohibition as Biblical). Utopian Islamist intellectuals of the mid-twentieth century interpreted this prohibition to encompass all types of interest and envisioned a financial system built entirely on equity finance – which many continue to this day to extoll as the Islamic ideal. The justification for prohibition of interest on debts in classical Islamic jurisprudence and modern Islamic economics is based on equity considerations. Earning interest on one’s capital allows the rich to get richer unjustly, the argument went, reminiscent of the Aristotelian doctrine that capital is sterile (money cannot – or should not – beget money), which was not surprisingly adopted in the Catholic doctrine of usury and later Islamic understanding of the prohibition of riba.

It is important to recall that the roots of the ancient law of usury (in the Hebrew Bible and later in the Qur’an) emerged in nomadic societies, many aspects of which are preserved in religious laws and rituals. For instance, in the Islamic rules for pilgrimage, the Qur’an explicitly forbids the pilgrims in a state of ritual purity from engagement in hunting. At the end of the rites of Hajj, an animal sacrifice is made, and the meat must be distributed in equal shares of one third between the poor, one’s friends and family, and one’s own household. Highly regimented distribution of meat, in particular, as well as redistributive mechanisms such as alms taken from the rich and given to the poor, are the hallmarks of traditions that evolved from hunter-gatherer social structures (e.g., in the Arabian Peninsula) that ethnographers have identified as the most egalitarian. In this regard, economists Edward Glaeser and Jose Scheinkman have argued persuasively that usury laws were forms of social insurance for predominantly poor ancient societies.

This brings us back to Arab revolutions and the rise of Islamists. I recall over the past few years that many economists in international financial institutions and think tanks were perplexed by the pitch of complaints in Arab countries, where the plight of the poor was significantly better than in many Latin American and Asian countries. Of course, the authoritarian bargain that these experts expected to last much longer has proved untenable, and the revolutions were not led by the poor, but rather by the educated middle classes of these countries. Although the latter have been generally secular in their political outlook, they were driven by egalitarian considerations that featured prominently in their slogans. Revolutionary youths may have been dismayed by the public vote for Islamists, but those who voted for Islamists were indeed voting out of the very same cultural demands for egalitarianism and justice, which they conflated with religious piety.

Of course, many now acknowledge the need for greater egalitarianism, surprisingly including the International Monetary Fund, because long-term efficiency cannot be ensured without political stability, which in turns requires a sustainable social contract. Likewise, some regulatory elements of the ancient law, for example, limits on leverage and debt imposed by the size of underlying real economic activity, would enhance long-term stability and efficiency even if they limit short-term growth. The Great Recession that contributed partially to the timing of Arab revolts was a consequence of the financial deregulation wave starting in the 1980s that led to multiple bubbles and crashes and continues to pose a major threat of another Great Depression. “Islamic finance” has been a full culprit in this deregulation trend, providing demand for various assets (including mortgage backed securities) and contributing to the under-pricing of credit risk.

Usurers have always used multiparty asset-based financial structures to rob the ancient law of its substance. Thus, if the law forbade the usurer from lending a needy person with exorbitant interest, he would sell him a piece of cloth with a credit price equal to price plus interest. A neighboring merchant would dutifully buy the cloth back from the debtor at market price, thus circumventing the law (Islamic banks currently use this ancient trick known as tawarruq). Rafik Al-Misri, a Professor at King Abdulaziz University in Saudi Arabia, has beseeched his readers to please call the markup “interest” so that a ceiling may be imposed by secular usury law, otherwise it would be impossible to put a ceiling on ostensible “profit rates” in contrived credit sales.

For higher-level finance, the rules for issuing bonds known as sukuk may seem to limit debt to the value of real underlying assets, for example, through selling an asset to a special purpose vehicle that leases it to the sukuk holders and then sells it back to the original owner at maturity. However, as legal experts try to “perfect” the bond issuance so that only credit risk remains, the real value of the underlying asset becomes immaterial. In the extreme, the industry that generates debt by selling such bonds might fuel the overvaluation of assets with which one can generate more debt through buy-sell-lease-buyback-sell. The capacity to subvert the egalitarian and prudential regulatory content of the ancient law is thus fully realized in “Islamic finance.”

In the meantime, by the admission of its own champions and practitioners, Islamic finance has not focused on helping to alleviate poverty or reduce unemployment. It has mainly served elites by synthesizing modern financial transactions from pre-modern contract forms – often to chase past returns on various asset classes that had not yet been “Islamized.” To the extent that poor and unemployed Muslims may demand financial products that are structured likewise from pre-modern contracts, one may justify efforts by the Islamic Development Bank and the World Bank’s International Finance Corporation to develop such products. Unfortunately, the decades-long track record of these organizations remains very disappointing, as some of their own studies have estimated that half of the world’s Muslims continue to live below the poverty line of $2 per day.

The ideological and religious motivation for Islamic finance emerged from the egalitarian agendas of political Islamists, exemplified by the Muslim Brotherhood and its sister organizations. However, the development of practical Islamic finance was financed by petrodollars and prospered in countries where Islamists generally focused more on the way finance was conducted (pre-modern juristic legal status of contracts) rather than the objectives of finance. As the two types of Islamism cooperate and/or compete for setting economic agendas, the sociopolitical agenda of the political Islamists may redirect Islamic finance, most likely retaining the emphasis on contract forms but also placing greater emphasis on the objectives of finance. The example of Turkey’s Islamist business community, such as members of the industrialist association MUSIAD, who supported and benefited from the political rise of Prime Minister Erdogan in Istanbul and nationally, is quite similar to networks of Brotherhood businesses that were occasionally attacked by secular Arab governments but many of which survived nonetheless.
Political Islamists can follow one of three financial paths. They may simply replicate the pietist “Islamic finance” that serves identity politics and little else. They may also choose to create Islamic subeconomies, as Timur Kuran has argued, but still fail to provide broader economic development for their countries. Hopefully, they may manage to solve the perennial problems of financial disintermediation and succeed finally in growing the small and medium enterprise sector that can help with poverty alleviation, employment creation, and economic development. Trust networks that can facilitate this development would be akin to “relationship banking” in more advanced economies. A recent editorial in the Economist criticized this hope as merely a wish by Egypt’s Islamists. At least, it is the right wish.

Sumber : Islam and Economic

Antara Syura dan demokrasi

Oleh : Ust. Qomar Suaidi

Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktik sistem syura dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah. Jauhnya perbedaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbedaannya adalah:
1.    Aturan syura berasal dari Allah l dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
2.    Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara mayoritas menghendaki, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
3.    Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memiliki sifat-sifat seperti telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama, ada yang bodoh, ada yang bijak, ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri. Mereka semua yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
4.    Dalam sistem syura, kebenaran tidak diukur dengan suara mayoritas tapi kesesuaian dengan sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah l yang jelas.
5.    Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada Allah l, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
6.    Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang kafir.
7.    Syura membedakan antara orang yang saleh dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya. Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sistem pemilu… tidak membedakan antara yang saleh dan yang jahat, masing-masing mereka berhak untuk memilih dan dipilih, dan tidak ada perbedaan pada jenis ini semua antara ulama dan orang yang bodoh. Sementara Islam tidak menghendaki pada majelis parlemen (maksudnya majelis syura) kecuali orang-orang pilihan dari masyarakat muslim dari sisi ilmu (agamanya) dan kesalehannya serta laki-laki, bukan perempuan.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir, hlm. 110)
8.    Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin lepas darinya.
9.    Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah serta tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat hlm. 21—36 dan Fiqih as-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 61)
Wallahu a’lam.

Sumber : As-Syari;ah.

SYURA BUKAN DEMOKRASI

Oleh : M. Shiddiq Al Jawi


Pengantar
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur dan sudah lama adanya meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak benar. â€Å“Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Soekarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan, Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab aray), sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan)..
Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa syura (musyawarah) bukanlah demokrasi dengan menguraikan dua hal utama, yaitu : (1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (2) perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Untuk itu, akan ditelaah secara komprehensif tiga kitab berikut: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz I (bab Asy-Syura, hlm. 246-261) karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994); Nizh al-Hukm al-Islam (bab Majelis Umat, hlm. 214-224) karya Abdul Qadim Zallum (2002); Ad-Dimuqrathiyah Nizam Kufr karya Abdul Qadim Zallum (1990).


Hakikat Syura
Menurut pengertian bahasa, syura (syura/musyawrah) adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-'asl min qursh asy-syama'™); memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-Amah wa ad-dabbah 'inda asy-syir'™); menampakkan diri dalam medan perang (isti'adh an-nafs fi maydan al-qital); dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980: 141; Zallum, 2002: 216).
Menurut pengertian syariat yang didasarkan pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, syura bermakna mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y[i]) (An-Nabhani, 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyâr) (Zallum, 2002: 216). Istilah lain dari syura adalah masyûrah (An-Nabhani, 2001: 111) atau at-tasyâwur (An-Nabhani, 1994: 246).
Taqiyuddin An-Nabhani (1994: 246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (q̢̢۪id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (sh̢hib ash-shal̢hiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami-istri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Umat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap Khalifah (Zallum, 2002: 222). Artinya, fungsi Majelis Umat antara lain melakukan musyawarah dengan Khalifah. Namun demikian, Majelis Umat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (tabanni) hukum syariat dari sejumlah hukum syariat yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat hanya menjadi otoritas Khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002: 44).
Hukum melakukan syura, menurut Abdul Qadim Zallum, adalah mandab (sunnah), bukan wajib (2002: 217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan bahwa perintah Allah Swt. kepada Rasulullah saw. untuk melakukan syura dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 159 adalah perintah mandab (sunnah), bukan perintah wajib. Mereka itu, misalnya, Ibn Jarir ath-Thabari (Jami' al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Rah al-Ma'na®, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami' li Ahkam al-Quran, IV/249-252), dan Ibn al-'Arabi (Ahkam al-Quran, I/298).
Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari al-Quran untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa wa syawirhum fî al-amr (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali 'Imran [3]: 159), ada qaronah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bukan tuntutan yang bersifat tegas (thalab jazim) yang kesimpulan hukumnya wajib, melainkan tuntutan tidak tegas (thalab ghayr jazim) yang kesimpulan hukumnya mandb. Indikasi (qaronah) tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa fa idza azamta fatawakkal 'ala Allâh (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat)—yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan—hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Oleh karena itu, dalam banyak kebijakannya, Rasul sering mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat; seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), para qâdhî (hakim), para sekretaris (kuttâb), serta para pemimpin sariyah dan pasukan; juga dalam penandatanganan gencatan senjata dan sebagainya (Zallum, 2002: 217-218). Ini menunjukkan bahwa syura adalah mandûb, bukan wajib; yang melakukannya akan mendapat pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak berdosa.
Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya adalah hak kaum Muslim semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan (shâhib ash-shalâhiyah), seperti Khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, tidak mengambilnya kecuali dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (jâ’iz) orang kafir menyampaikan pendapat (ibda’ ar-ra’y) kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat (sama’ ar-ra’y) dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan syura hanya untuk kaum Muslim, ditunjukkan, misalnya, oleh firman Allah Swt.:

"Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka. (QS Ali ‘Imran [3]: 159).
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali bagi kaum Muslim. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan bagi orang musyrik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 113). Demikian pula bermusyawarah; tidaklah dilakukan Rasul kecuali dengan kaum Muslim (An-Nabhani, 1994: 247).
Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sebaliknya, dalam syura, kriteria pendapat yang diambil bergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya, sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dimuqrathiyah Nizhâm Kufr, adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam masalah penentuan hukum syariat atau legislasi (at-tasyrî‘), kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariat (nash al-Quran dan as-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ , The Law Giver) hanyalah Allah Swt., bukan umat atau rakyat. Pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syariat dalam sistem Khilafah adalah Khalifah saja, bukan Majelis Umat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syariat yang akan dilegislasikannya, meskipun hal ini boleh dia lakukan. Jika Khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syariat yang hendak diadopsinya maka pendapat Majelis Umat tidaklah mengikat Khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.
Dalilnya adalah fakta bahwa Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal, pendapat kaum Muslim waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Akan tetapi, toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:
Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. (HR al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fath al-Bari, VI/276; Shahîh Muslim XII/141; Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, V/225).
Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam; yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fikih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikianlah seterusnya.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—pada Perang Badar. Saat itu Hubab mengusulkan kepada Nabi saw. agar meninggalkan tempat yang dipilih beliau seandainya ketentuan tempat itu bukan berasal dari wahyu. Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Rasulullah saw. pun mengikuti pendapat Hubab. Beliau dan para sahabat kemudian berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Hubab. Jadi, Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut. (Lihat: Kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sîrah Ibn Hisyâm, II/272; Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/15; Târîkh Ibn Khaldun, II/751; As-Sîrah li Ibn Katsîr, II/380-402).
Ketiga, dalam masalah-masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam; yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Contohnya adalah seperti: apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya); apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari; apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalam masalah-masalah seperti ini, suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang dialami Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Rasulullah saw. dan para sahabat senior berpendapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sebaliknya, mayoritas sahabat, khususnya para pemudanya, berpendapat bahwa kaum Muslim hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi, pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan: keluar kota Madinah atau tidak. Karena mayoritas sahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, Nabi saw. lalu mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para sahabat senior. Mereka kemudian berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy. (Lihat: Sîrah Ibn Hisyâm, III/67; Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/38; Târîkh Ibn Khaldun, II/765; Zâd al-Ma‘âd, II/62; Fath al-Bârî, XVII/103).


Perbedaan Syura dengan Demokrasi
Dari uraian di atas, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Seperti telah dikutip sebelumnya, Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, â€Å“Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan).”
Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil; tidak tepat dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab, syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sebaliknya, demokrasi bukan hanya sekadar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistic, yang terrepresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Kenytaan bahwa demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan dapat dibuktikan, misalnya, melalui pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln menyatakan, â€Å“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” (Melvin I. Urofsky, 2003: 2). Oleh karena itu, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura. Syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan dengan demokrasi.
Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi, yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik dengan demokrasi. Dalam syura ada proses pengambilan pendapat berdasarkan suara mayoritas seperti yang terjadi dalam Perang Uhud. Ini identik dengan yang ada dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 93-94). Namun demikian, dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab, tak selalu syura berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi yang selalu menggunakan standar suara mayoritas untuk segala bidang permasalahan. Selain itu, syura hanyalah hak kaum Muslim yang dilaksanakan di antara sesama umat Islam ketika mereka bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat. Orang kafir tidak boleh ikut serta dalam proses syura. Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang menjadikan Muslim dan non-Muslim bisa bercampur-aduk untuk menetapkan suatu pendapat. Jika demikian kontras bedanya, sekontras perbedaan warna putih dan hitam, lalu di mana lagi letak kesamaan syura dan demokrasi? Samakah yang putih dengan yang hitam?

Kemiripan syura dan demokrasi dalam tersebut menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif. Menurut Zallum (1990), sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri: berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); dibuat oleh manusia; didasarkan pada 2 (dua) ide pokok, yaitu: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaa, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.

Hanya dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari akidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari akidah Islam. Syura adalah hukum syariat yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim ide sekularisme yang kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar—yang berkuasa secara despotik dan absolute—dengan para agamawan Katolik yang korup dan manipulatif (An-Nabhani, 2001: 27).


Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi karena syura adalah pengambilan pendapat sedangkan demokrasi adalah sistem pemerintahan Barat yang berasaskan pada ide sekularisme yang kufur. Adanya kemiripan antara syura dan demokrasi tidak ada maknanya sama sekali karena keduanya mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.
Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan sebagai salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini tampak ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah—mereka sebut sebagai The Sick Man—andaikata â€Å“orang sakit” ini telah masuk liang lahat. Namun, mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya, Khilafah menerapkan sistem kementerian (al-wuzarah) seperti dalam sistem demokrasi sebagai akibat paksaan dan tekanan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis atau bahwa demokrasi berasal dari ajaran Islam (Zallum, 1994: 135-136).
Atas dasar itu, siapa saja yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian ajaran Islam, misalnya dengan mengatakan demokrasi adalah syura itu sendiri, berarti dia telah bersekutu dengan para penjajah yang kafir untuk turut menghancurkan Islam dan menyesatkan umat Islam. Propaganda demokrasi yang palsu dan penuh pemaksaan ini tak punya tujuan lain, kecuali untuk mencegah bangkitnya ideologi Islam dalam sebuah sistem Khilafah sekaligus untuk melestarikan hegemoni ideologi kapitalisme-demokratik yang kufur di seluruh dunia, agar umat manusia tetap terus-menerus hidup dalam ketertindasan, penderitaan, serta kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ini tentu sangat kejam. Sangat biadab dan gila. []



Daftar Pustaka

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, cet. Kuwait: Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah.
Anonim. 1990. â€Å“Negara Nasional dan Cita-Cita Islam.” Bung Karno dan Islam. Jakarta: Haji Masagung.
-. 1994. Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, juz I, cet. IV. (Beirut: Darul Ummah).
-. 2001. Nizhâm al-Islâm, cet. VI. t.tp.: min mansyurat Hizb Al-Tahrir.
An-Nahwi, Adnan Ali. 1985. Asy-Syûra Lâ ad-Dimuqrathiyah, cet. II. Kairo: Dar ash-Shahwah.
Ibn Manzhur. 1889. Lisân al-‘Arab. Bulaq: Al-Mathba’ah al-Amiriyah.
Thalib, Muhammad & Irfan S. Awwas (ed.), t.t. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. <http://www.geocities.com/ sabiluna/> Zionisme/Bab10.html.
Urofsky, Melvin I. et.al.. 2003. Demokrasi. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov
Zallum, Abdul Qadim. 1990. Ad-Dimuqrathiyyah Nizhâm Kufr, t.tp.: min mansyurat Hizb at-Tahrîr.
-. 1994. Afkâr Siyâsiyah, cet. I. Beirut: Darul Ummah.
-. 2002. Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. cet. VI. t.tp.: min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Sumber : http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/01/24/syura-bukan-demokrasi-oleh-m-shiddiq-al-jawi/
Filed under: Arsip Al-Wa'ie

Sumber : Hous Of Khilafah

Senin, 15 Oktober 2012

PROSPEK POLITIK ISLAM DI INDONESIA


Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta. Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia.
Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila.
Namun, cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.
Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia.




A.     KERELAVANAN SYARIAT ISLAM: Antara Ya dan Tidak
Politik menurut perspektif syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di muka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsipNYA di tengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at dan sistem yang dianut juga berdasarkan syari’at.[1] Apabila ditinjau dari konsep sekarang syariat itu bisa dimaknai sebagai penerapan nilai nilai Islam dalam system politik baik itu peraturan perundang-undangan, kebijakan public, tata negara dalam bentuk formalitas, sehingga syariat Islam dianggap sebagai solusi bagi yang ideal untuk negara.
Disamping itu, teori Donald K Emmerson mengemukakan tesis bahwa “Islam yang berada diluar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap” atau “umat Islam yang tidak terus mengupayakan terwujudnya Negara Islam adalah umat Islam yang tidak berbuat yang sesungguhnya demi Islam”.[2] Maksudnya, kelompok Islam militan berpandangan bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, karena mereka percaya bahwa Islam yang berada diluar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap. Yang harus di pertanyakan pada kondisi sekarang ialah “apakah formalitas Negara Islam itu bisa di terpakan pada zaman sekarang?.
Untuk itu, sebagian muslimin menganggap syariat Islam  bahwa syariat Islam itu relevan untuk semua zaman, kondisi dan tempat. Kerelevansian syariat Islam ini banyak ditunjukan dalil-dalil Qath’i, baik berupa wahyu, bukti sejarah maupun bukti realistis.[3] Sedangkan sebagian yang lainya mengangap bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan konteks politik kontemporer. Diantaranya pemikir kontemporer yang lebih moderat adalah Abduh yang mengemukakan bahwa “organisasi politik bukanlah persoalan ditetapkan oleh ajaran Islam , melainkan oleh situasi dan waktu.[4]
Dengan demikian, system politik seperti apa yang seharusnya diterapkan dalam situasi di Indonesia yang mayoritas muslim. Apakah harus memaksakan berdirinya Negara Islam atau tetap mempertahankan system politik yang sudah ada yang cendrung bersifat sekuler.
Jika berpedoman pada pendapat qardhawi, maka syariat Islam atau Negara Islam harus jadi azas ideolgis Negara di Indonesia. Tetapi apakah Negara Islam tersebut akan relevan untuk cultural masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Padahal dalam sejarah politik di Indonesia, wacana Negara Islam telah ada di saat pembentukan ideologi Negara, walaupun pada akhirnya kekalahan berpihak kepada politik Islam.
Yang  muncul kemudian ialah Pancasila sebagai ideologi Negara, dimana Pancasila ini lebih cendrung bersifat sekuler. Walaupun ada yang beraanggapan bahwa dijadikanya Pancasila sebagai ideologi Negara tidak dianggap sebagai perwujudan dari keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari Negara.[5] Dengan dimasukannya sila “ketuhanan yang maha esa” dalam dasar Negara itu, maka Indonesia sudah dipandang sebagai “Negara Islam”.
Tetapi pada kenyataanya Pancasila itu lebih bercorak sekuler, walaupun masih ada sila yang bersifat teolgis. Perkembangan selanjutnya akan terasa sulit jika formalitas politik Islam dalam Negara Islam itu dipaksakan dalam konsititusi politik di Indonesia. 
Namun sekarang, wacana dan format politik Islam yang bersifat formalitas tetap ada di Indonesia, tetapi hanya terjadi pada daerah-daerah tertentu yang bagian dari kesatuan republik Indonesia. Tetapi tidak akan berlanjut pada pembentukan Negara Islam secara keseluruhan. Walau sebagian daerah menerapkan syariat Islam sebagai landasan politiknya, bukan berarti diikuti pula oleh Negara.

B.     PARTAI ISLAM SEBAGAI INDIKATOR POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Partisipasi Muslim dalam bidang politik telah menghiasi percaturan politik tanah air, bahkan sejak negara ini belum merdeka dan mulai diperkenalkannya sistem politik demokratis modern. Tercatat sejak tahun 1929 Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) berdiri sebagai suatu wadah perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Kemudian pada tahun 1945 berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan ummat Islam dalam bidang politik, meski kemudian partai ini terpecah dengan keluarnya NU dan PSII.
Dalam perjalanan berikutnya partai-partai Islam mengalami pasang surut. Diantaranya dapat dilihat pada masa orde lama, dimana sukarno memberangus keberadaan masyumi dalam peta politik Indonesia. Demikian pula pada masa orde baru, dimana orde baru melakukan restrukturisasi system kepartaian pada tahun 1973. Restrukturisasi ini memaksa setiap partai untuk berfusi menjadi satu, baik itu partai Islam maupun partai nasionalis.[6] Sehingga, setelah peraturan itu partai-partai di Indonesia termasuk partai Islam harus beazaskan Pancasila, maka mulai saat itu tidak ada lagi partai Islam yang resmi membawakan suara Islam. Aspirasi umat Islam sekarang berada dalam berbagai kelompok politik dan sosial. Sebelumnya partai Islam sering dianggap mawakili umat Islam sehingga aspirasi umat sering diidentikan dengan aspirasi partai tersebut, meskipun sebenarnya tidak demikian, karena hanya sebagian orang Islam yang masuk partai yang berasaskan Islam tersebut.[7]
Setelah jatuhnya orde baru dari kekuasaan, banyak partai- partai Islam mulai bermunculan. Fenomena munculnya partai Islam ini mengandung spekulasi. Ada yang melihat sebagai “masuknya kembali Islam dalam dunia politik.” Ada pula yang secara serta merta menyuarakan alarmism – bagian dari, meminjam istialah oliver roy,  “imajinasi politik” akan ketidakterpisahan antara wilayah agama, hokum, ekonomi dan politik.[8]
Yang jelas maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberikan lebel (re) politisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indicator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan symbol Islam dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam.[9]  Sudah sewajarnya kemunculan partai Islam itu dianggap sebagai repolitisasi Islam, karena sudah 32 tahun partai Islam mengalami kekangan orde baru, kembalinya kekuatan politik Islam ini mewarani percaturan politik Indonesia  pasca orde baru dan prospek politik Islam kembali.  
Dengan Kemunculan kembali partai Islam dapat dijadikan sebagai indicator munculnya kembalinya politik Islam. Romantika politik Islam pada majelis konstituante di masa lalu mengingatkan kembali para aktivis politik Islam untuk mengakat isu Islam politik. Sekarang, pertaruang tidak hanya pada tatanan konsititusi, tetapi sudah masuk pada tatanan ideologi partai-partai Islam. Walaupun Pancasila tetap menjadi landasan Negara, bukan berarti partai juga berazaskan Pancasila tapi berazaskan Islam.
Kemudian yang menjadi pertanyaan pada konteks sekarang adalah benarkah partai-partai Islam itu dapat menampung aspirasi umat Islam dan apakah aspirasi umat itu identik dengan aspirasi partai.
Jika pada masa lalu partai Islam dianggap sebagai aspirasi umat Islam, karena para pemimpin dan aktivis politik Islam awal bergantung pada dua ciri utama. Pertama, politik non integratif atau partisan, dimana politik partisipan berkaitan secara langsung dengan pengelompokan politik Islam sebagai kekuatan politik seperti partai yang dimonopoli oleh partai-partai Islam. Kedua, parlemen sebagai lapangan bermain dan arena perjuangan.[10] Para kelompok Islam mencanangkan tujuan-tujuan sosial politisnya yang pada hakikatnya bercorakan non integratif atau paritisan. Diantaranya adalah penegasan Islam sebagai ideologi Negara dan mendesak dilegalisasikanya piagam Jakarta.
Sedangkan Islam pada masa orde baru lebih bersifat cultural dari pada politis.[11] Pada kenyataanya Islam di Indonesia tetap ada watak politisnya. Format atau rumusan Islam politik tersebut mencakup. Pertama, landasan teologis dan filosofis Islam politik. Kedua, tujuan-tujuan politik Islam. Ketiga, pendekatan politik Islam yang sedang berubah dari politik formalitas-legalisme kepada subtansialisme, atau dari politik eksklusivisme kepada inklusivisme.[12]
Perubahan pola politik Islam dari politik formalitas kepada politik subtansialisme tersebut berimplikasi pada perkembangan politik Islam pada masa berikutnya. Sehingga politik subtansialisme mulai mengakar dalam kultur politik Indonesia, walaupun bermunculan partai Islam yang memperjuangkan politik formalitas. Tatap saja perjuangan Islam sebagai ideologi Negara akan semakin sulit terealisasi. Karena ideologi Pancasila  yang bersifat sekuler sudah mengakar dalam system politik di Indonesia.
Pada konteks sekarang sangat sulit mengatakan bahwa partai Islam itu sebagai wadah aspirasi umat Islam, karena partai Islam sudah terfragmentasi. Kecendurungan sekarang lebih kepada kepentingan individu dari para politisi Islam, bukan kepentingan umat. Sehingga dapat dikatakan pola gerakan partai Islam bergerak kearah pragmatis.
Para tokoh politik (tak terkecuali politikus Islam), sama-sama berusaha menggunakan lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan memperoleh kekuasaan, kadang kala dengan cara sinis tetapi pada umumnya melalui proses rasional. Ketika seseorang mulai menyadari bahwa mereka merupakan anggota dari kelompok-kelompok politik yang diwarnai identitas keagamaan. Maka individu itu akan beranggapan bahwa kepentingan-kepentingan pribadi mereka berkaitan erat dengan kesejahteraan (umat) beragama mereka.[13] Kondisi seperti itulah yang terjadi pada elite-elite politik Islam pada masa sekarang di Indonesia.

C.      PROSPEK POLITIK ISLAM DI INDONESIA DITINJAU DARI HUBUNGAN ANTARA ISLAM DAN NEGARA
Islam adalah agama monoteistik yang disebarkan oleh nabi Muhammad SAW, Al Quran dan Sunah merupakan sumber  atau pedoman bagi umat untuk melakukan hubungan-hubungan sosial dan politik.[14] Sehingga, umat Islam (juga non Islam) pada umumnya mempercayai watak holistic Islam sebagai instrument ilahiah untuk memahami dunia. Islam seringkali dipandang lebih dari sekedar agama, untuk itu pandangan tersebut menyatakan bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara yang spiritual dan yang temporal, melainkan mengatur semua aspek kehidupan.[15]    
Sedangkan Negara memiliki kekuatan untuk memaksa dan Negara merupakan entitas yang otonom seperti lembaga-lembaga dan institusi. Bisa dikatakan bahwa Negara adalah sesuatu yang jauh, bahkan asing, kumpulan manusia paling jauh yang dapat dengan mudah berubah menjadi hubungan permusuhan.[16] Maksudnya Negara dapat menggunakan kekuatan memaksa untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu, dan tidak tertutup kemungkinan Negara dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi.
Permasalahan sekarang ialah bagaimana kita bisa memberikan titik temu hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara di Indonesia.
Pertama memang diakui bahwa jauh sebelum negara ini terbentuk dan merdeka, Islam sudah hadir sebagai faktor yang sangat dominan dalam kehidupan politik, dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Islam. Jadi, jauh sebelum Indonesia ada, sudah ada kekuatan Islam dalam bentuk kerajaan dan kesultanan yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara dalam beberapa hal, misalnya masalah perkawinan, warisan dan sebagainya.
Tetapi setelah kemerdekaan, terutama pada masa-masa pembentukan dasar-dasar Negara, Islam malah bukan menjadi faktor dominan dalam politik. Buktinya Piagam Jakarta yang merupakan solusi politik Islam mengalami kekalahan dari kaum nasionalis yang mengusung Pancasila. Sehingga pada akhirnya perjuangan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia tidak terealisasi.
Periode berikutnya, upaya untuk menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan Negara terus berlanjut, walaupun dalam intensitas yang sedang. Disisi lain  kedigdayaan Pancasila sebagai ideologi Negara terus berlanjut, dan kadang kadang Pancasila ditafsirkan sebagai “Negara Islam” karena mengandung sila ketuhanan yang maha esa. Pada kenyatanya tidak demikian, karena Pancasila lebih cendrung bersifat sekuler (sekuler abu-abu). Karena Pancasila tidak memaksakan ajaran tertentu atau pemahaman tertentu tentang syariah atau sistem agama lain. Maka Pancasila layak disebut sekuler
Pada dasarnya Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Karena, tingkah laku politik sesorang dipengaruhi oleh agama. Tetapi Islam bisa dipisahkan dalam arti Negara harus besikap netral terhadap agama. Dimana Negara tidak memusuhi atau mendukung suatu agama tertentu.[17] Konsep seperti itulah yang seharusnya diterapkan di Indonesia, jika memang Indonesia memilih pilihan sekuler.

D.     Penutup
Pemikiran politik Islam juga pada dasarnya terpenjara pada tiga mazhab besar. Hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran bahwa Pertama, Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan. Kedua,  Islam dan politik itu bisa dipisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik.
Berikut gambaran dari ketiga mazhab tersebut dalam system politik di Indonesia. Pertama, Untuk konteks Indonesia sangat sulit untuk menghilangakan harapan-harapan dari aktivis politik Islam untuk mendirikan Negara Islam. Kerena mereka menganggap bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan,  disamping itu adapula legitimasi cultural yang membuat mereka tetap semangat untuk memperjuangkan Negara Islam, dimana mereka menganggap sebelum berdirinya Negara ini masyarakat Indonesia telah menerpakan syariat Islam.
Kedua, apabila pemisahan agama (Islam) dan politik di Indonesia dipahami dalam konteks sekulerismenya Kristen dan barat maka konsep tersebut tidak sesuai untuk budaya Indonesia. Untuk itu perlu konsep sekuler yang cocok dengan kultur di Indonesia, salah satunya adalah konsep sekulerisme yang ditawarkan oleh An Naim.
Ketiga, golongan inilah yang banyak bermain dalam percaturan politik Islam di Indonesia pada saat sekarang ini, terutama dalam partai-partai Islam. Keberadan partai Islam ini kembali menghidupkan kembali atmosfir politik Islam di Indonesia. Tetapi tidak sedikit pula para aktivis politik Islam yang memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi mereka. 




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf. Membumikan Syariat Islam. Penerjemah Drs. Muhammad Zaki dan Drs. Yasir Tajid (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).
Abdullah Anaim, Dalam Nasakah Yang Belum Dipublikasikan. 
Brown, L. Carl. Wajah Islam Politik. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003).  
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2006).
Effendy, Bahtiar. “Repolitisasi Islam.” Dalam A. Suryana Sudarjat, ed., Fenomena Partai Islam (Bandung: Mizan, 2000), h. 205.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara  (Jakarta: Paramadina, 1998). 
Harun, Lukman. “Mulai Ditinggalkan, Aspirasi Umat Islam Lewat Kelembagaan Formal,” Kompas, 22 Oktober 1986.
Smith, Donald Eugene. Agama dan Moderenisasi Politik: Suatu Kajian Analistis. Penerjemah  Drs. Machnun Husein (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1985).
Tebba, Sudirman. “Islam di Indonesia: Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989, h. 53-56.


[1] Al-Qardhawy, 1999:35
[2] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara  (Jakarta: Paramadina, 1998),  h. 45.
[3] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Membumikan Syariat Islam. Penerjemah Drs. Muhammad Zaki dan Drs. Yasir Tajid (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 250.
[4] Antony Black, Pemikiran Politik Islam. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2006),  h. 551.
[5] Dr. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 100
[6] Diantara partai islam yang difusikan oleh orde baru adalah NU, Parmusi, PSII dan Perti. Partai ini digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan ideology partai ini harus disesuaikan dengan ideology Negara yakni pancasila.  
[7] Lukman Harun, “Mulai Ditinggalkan, Aspirasi Umat Islam Lewat Kelembagaan Formal,” Kompas, 22 Oktober 1986.
[8] Dr Bahtiar Effendy, “Repolitisasi Islam.” Dalam A. Suryana Sudarjat, ed., Fenomena Partai Islam (Bandung: Mizan, 2000), h. 205.
[9] Ibid., h.  196
[10] Dr. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 205-206
[11] Sudirman Tebba, “Islam di Indonesia: Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989, h. 53-56.
[12] Dr. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 211.
[13] Donald Eugene Smith, Agama dan Moderenisasi Politik: Suatu Kajian Analistis. Penerjemah  Drs. Machnun Husein (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1985), h. 188-189.
[14] Abdullah Anaim, Dalam Nasakah Yang Belum Dipublikasikan. 
[15] Dr. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 61.
[16] L. Carl Brown, Wajah Islam Politik. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 104.  
                 [17] Konsep ini berasal dari konsep sekulersimenya an naim, dimana negara bersikap netral terhadap agama. Jadi bukan negara yang memusuhi atau mendukung suatu agama. "Makin netral sikap negara terhadap agama, makin banyak kemungkinan bagi warga untuk menjadi agamis”. Karena negara tidak memaksakan ajaran tertentu atau pemahaman tertentu tentang syariah atau sistem agama lain.

Sumber : Gusti Ramli.Com

MEMPERTAHANKAN KEDALAMAN MAKNA PANCASILA

kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...