Minggu, 14 Oktober 2012

Mendudukkan Kembali Definisi Politik Islam


AHMAD JAELANI
Pusbangsitek UIN Jakarta.
Pendahuluan
Islam Yes, Partai Islam No”. Rekan-rekan kompasianer mungkin pernah mendengar atau membaca statement tersebut. Ya, itu adalah pernyataan dari seorang cendekiawan muslim Indonesia Nurcholis Madjid (alm.) di era 70 – an. Gagasan ini dilontarkan untuk mendukung idenya yang sebelumnya dengan gencar telah didengungkan, yaitu wacana “sekularisasi”. Walaupun sudah lama, namun jargon ini ternyata masih ada pengaruhnya hingga saat ini. Kalangan tradisional masih memegang teguh pemisahan agama dan politik, karena melihat realitas perpolitikan di negeri ini yang penuh dengan kekotoran yang malah dikhawatirkan akan menodai kesucian agama (baca: Islam). Namun apakah benar Islam tidak mengenal politik?
Ada baiknya kita meninjau pengakuan dari John L. Esposito dalam Islam and Politics. Dia mengakui realitas sejarah umat Islam masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku kepada aqidah Islam, dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, dasar ideologi masyarakat maupun Negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam (Esposito, 1990).
Pengakuan jujur dari seorang orientalis tentunya bukan hanya Esposito saja, para orientalis –terlepas dari kesimpulan yang diambilnya- lainnya pun tidak membutakan mata akan Islam sebagai agama spiritual juga agama politik.
Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni dalam bukunya, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.
Pendapat al-Durayni ini sejajar dengan ungkapan Ibn Taymiyyah bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam (Muamar, 2005).
Pengertian Politik
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau bahasa latin politicos atau ploiticus yang berarti relating to citizen. Diartikan juga sebagai hubungan sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan (Wikipedia.org, 11/01/11). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (KBBI online, 11/01/11). Dari pengertian di atas maka istilah politik dilihat secara bahasa menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda, politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun  atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan.
Jika dalam bahasa Inggris politik identik dengan kekuasaan, maka dalam bahasa Arab arti siyasah lebih menekankan kepada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan perpolitikan dewasa ini. Maka wajar saja jika politik sekarang lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Fungsi politik Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat dalam masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, digunakan oleh para politikus dewasa ini sebagai dalil untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal.
Politik Islam
Politik (siyâsah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Definisi ini juga diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda
“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah’. (H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim)
Pengertian di atas merupakan pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari definisi ini pula, dapatlah kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku, yaitu Negara dan umat/ rakyat, kemudian meliputi pengaturan dalam negeri dan luar negeri, terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum Islam.
Terkait dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa perundang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta (Allah swt), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (asyâ) dan perbuatan (af’âl) adalah Allah swt sebagai Pembuat Hukum (al Syari’) sebagaimana firman Allah swt
“Menetapkan hukum hanyalah milik Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS. al-An’am (6) : 57)
Atas dasar inilah maka dalam Islam kedaulatan berada di tangan Syara’ bukan di tangan rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al Qur’an dan al Hadits serta yang ditunjuki oleh keduanya berupa ijma sahabat dan qiyas syar’iyyah. Keempat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara’ (syari’at Islam). Mayoritas ulama Islam tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah al Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Imam al Syaukani menyatakan tidak adanya perselisihan dalam masalah ini (Khalidi, 2004).
Kesimpulan
Mendefinisikan politik Islam dengan term politik sekarang malah akan membawa kepada kekaburan pengertian politik yang diambil oleh Islam. Secara bahasa pun, Islam mengambil term Arab Siyasah yang berarti pengaturan urusan umat, bukan pengertian politik saat ini yang menekankan kepada kekuasaan. Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga kemurnian ajarannya menolak politik yang sekarang diterapkan oleh negeri ini juga oleh parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai tameng dalam meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi kenyataan. Alih-alih ingin menerapkan syariah Islam melalui jalur politik, namun yang diambil adalah politik dalam term sekuler mengakibatkan dirinya terjerumus dalam kekacauannya.
Perbedaan penekanan dalam penggunaan istilah antara politik dan siyasah, bukan berarti harus ada penggantian dari kata politik dengan kata siyasah. Karena secara subtansi pengertian keduanya diambil dari realitas aktivitas politik yang sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat baik di dalam ataupun di luar negeri. Perbedaannya hanyalah dari sisi penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai dengan ideologinya. Kemudian, terkait dengan peran Negara dan umat/ rakyat dalam politik Islam, lalu bagaimana pengaturan politik dalam negeri dan luar negeri insyaAllah akan dibahas secara terpisah.
Wallahu’alam
Bahan bacaan:
  1. John L. Esposito, Islam and Politics, terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

  2. Mahmud Abdul Majid al Khalidi, Qawa’id Nizham al Hukm fi al Islam, jilid 1, terj. Harits Abu Ulya (Bogor: Al Azhar Press, 2004)

  3. Taqiudin An Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut-Tahrir, terj M. Shiddiq al-Jawi (Jakarta: HTI Press, 2006)

  4. Abdul Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, terj. Abu Faiz (Bangil: Al Izzah, 2004)

  5. Al Maktabah al syamilah al Ishdar al tsaniy

  6. Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi Dan Teokrasi, (khairuummah.com, 24/05/2005)

  7. Wikipedia.org, kata politik

  8. Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi 
  9. Sumber : Kompasiana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMPERTAHANKAN KEDALAMAN MAKNA PANCASILA

kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...