Selasa, 04 Februari 2014

Pemilu Serentak dan Reformasi Kepartaian

Mahkamah Konstisusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan terkait pemilu serentak. Intinya seluruh pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Meski demikian, MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, apapun keputusan MK akan tetap menjadi polemik. Hal yang lumrah karena keputusan ini berpengaruh pada nasib sejumlah politisi.
Dengan keputusan MK, maka bisa dipastikan jumlah capres 2014 tidak akan lebih dari lima pasang. Hal ini didasarkan aturan presidential threshold 20% pada UU Pilpres. Padahal, jika pemilu serentak diterapkan di 2014 –mengabaikan aturan presidential threshold—boleh jadi jumlah capres akan sangat banyak mengingat setiap partai memiliki kandidat sendiri.

Ambisi Yusril Ihza Mahendra, Rhoma Irama, Sutiyoso, Wiranto dan sejumlah tokoh lain harus dikubur dalam-dalam, kecuali jika partainya mampu meraih suara seperti yang dipersyaratkan.
MK dipertanyakan lantaran dalam amar keputusannya secara spesifik menentukan tahun penerapan pemilu serentak. Walaupun terasa janggal, tidak sedikit juga pihak yang mengapresiasi keputusan MK yang dinilai arif.
Saya sepakat pemilu serentak jauh lebih sangkil dan mangkus. Akan tetapi, tidak lantas memaksakan pelaksanaannya secara terburu-buru. Justru dengan baru diterapkan pada 2019, kita memiliki waktu untuk mempersiapkannya dengan matang. Pemilu serentak hanyalah salah satu dari sekian upaya dalam menyempurnakan demokrasi di Indonesia.
Pemilu serentak sejalan dengan penguatan sistem presidensialisme di Indonesia. Selama ini, walaupun menganut presidensialisme, kenyataannya presiden seringkali tersandera oleh koalisi. Mengapa? Koalisi rapuh karena memang baru dibangun beberapa bulan jelang pilpres. Dalam perjalanannya, para menteri di kabinet pun acapkali ‘bermain di dua kaki’.
Fakta lain adalah adanya legislative heavy, yang kemudian menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan parlemen. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di parlemen yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lain yang memadukan sistem presidensial dengan sistem multipartai. Para ahli politik meyakini kedua sistem itu memang tidak kompatibel.
Pendapat-pendapat mengenai ketidakcocokan antara sistem multipartai dengan presidensialisme mengacu pada studi yang dilakukan Scott Mainwaring (1993). Mainwaring menunjukkan, dari seluruh demokrasi di dunia, hanya Chile yang mampu mengawinkan secara stabil presidensialisme dengan sistem multipartai. Menurut Mainwaring, penggabungan presidensialisme dengan multipartai berpotensi menyebabkan deadlock dan instabilitas pemerintah.
Oleh karena itu, naif sekali jika kita berharap pemilu serentak saja cukup untuk melahirkan pemerintahan yang stabil dan demokratis. Bagaimana menjamin presiden yang dipilih bersamaan dengan pemilihan legislatif memiliki legitimasi yang lebih kuat dalam menjalankan pemerintahan? Selama parlemen masih terbagi dalam banyak fraksi, maka pertentangan kepentingan pun akan tetap besar.
Jangan-jangan pemilu serentak hanya akan mengefisienkan biaya tapi tidak berkontribusi positif dalam pengembangan demokratisasi kita. Untuk mencegah hal tersebut, upaya sistematis penyederhanaan multipartai di Indonesia harus tetap dilanjutkan. Angka electoral threshold (3,5%) dan parliamentary threshold (2,5%) hendaknya ditingkatkan secara signifikan.
Justifikasi kemajemukan Indonesia untuk tetap melestarikan sistem multipartai sudah usang. Keberadaan banyak partai tidak berbanding lurus terhadap keterserapan aspirasi masyarakat yang heterogen. Multi partai bisa saja dihitung dari sisi jumlah partai yang semakin banyak, namun apakah ”banyak” menunjukan ”perbedaan”? Antara satu partai dengan partai lain nyaris tak tampak bedanya. Jangan tanyakan pada partai-partai itu, apa ideologi mereka.
Dalam konteks mencari ”perbedaan” dari partai-partai itu, kita bisa mengklasifikasikan perilaku partai di Indonesia dengan menggunakan tipologi yang dipopulerkan Steven B. Wolinetz: pencari-suara (vote-seeking), pencari-jabatan (office-seeking), dan pencari-kebijakan (policy-seeking).
Dari tiga dimensi yang disampaikan Wolinetz itu, perilaku partai pascareformasi hampir sama, yakni: lebih didorong oleh vote seeking dan office seeking ketimbang policy seeking. Vote seeking membuat partai hanya hadir pada saat momen-momen pemilihan, baik pemilu lokal maupun pemilu nasional. Perilaku partai juga sangat dipengaruhi oleh logika elektoral, sehingga menjadi lebih berorientasi catch all party dibandingkan ideologis-kebijakan. Sedangkan, orientasi office seeking membuat perilaku partai lebih pragmatis-jangka pendek terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa persoalan kita berlipat ganda bukan hanya pada jumlah partai yang demikian banyak tapi juga kualitasnya yang amat buruk. Hanta Yuda (2010) menawarkan 10+1 tawaran desain institusional baru yang berupaya untuk memberikan alternatif agar sistem presidensial kompatibel dengan multipartai di Indonesia.
Kesepuluh tawaran tersebut meliputi inisiasi sistem pemilu distrik, memperkecil daerah pemilihan (district magnitude), penerapan parliamentary threshold secara konsisten, penggabungan pemilu legislatif dan presiden, penyederhanaan fraksi, koalisi permanen, penguatan bikameralisme secara seimbang, hak veto presiden, rekonstruksi posisi wakil presiden, serta larangan rangkap jabatan. Selain itu, Hanta menawarkan sebuah rekomendasi non-institusional: adanya karakter presiden yang kuat (strong president).
Jadi, jangan habiskan energi Anda untuk sekadar berdebat soal implementasi pemilu serentak. Pekerjaan rumah kita dalam mereformasi sistem pemilu dan kepartaian masih amat banyak.
Berita Satu, 25 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMPERTAHANKAN KEDALAMAN MAKNA PANCASILA

kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...