Oleh : M. Shiddiq Al Jawi
Pengantar
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur dan sudah lama adanya meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,†kata Soekarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan, Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab aray), sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan)..
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur dan sudah lama adanya meskipun anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,†kata Soekarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, Negara Nasional dan Cita-Cita Islam, di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan, Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab aray), sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan)..
Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa syura
(musyawarah) bukanlah demokrasi dengan menguraikan dua hal utama, yaitu :
(1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (2) perbedaan
fundamental antara syura dan demokrasi. Untuk itu, akan ditelaah secara
komprehensif tiga kitab berikut: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz I
(bab Asy-Syura, hlm. 246-261) karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994);
Nizh al-Hukm al-Islam (bab Majelis Umat, hlm. 214-224) karya
Abdul Qadim Zallum (2002); Ad-Dimuqrathiyah Nizam Kufr karya Abdul
Qadim Zallum (1990).
Hakikat Syura
Menurut pengertian bahasa, syura (syura/musyawrah) adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-'asl min qursh asy-syama'™); memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-Amah wa ad-dabbah 'inda asy-syir'™); menampakkan diri dalam medan perang (isti'adh an-nafs fi maydan al-qital); dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980: 141; Zallum, 2002: 216).
Menurut pengertian syariat yang didasarkan pada
nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, syura bermakna mengambil pendapat
(akhdh ar-ra’y[i]) (An-Nabhani, 1994: 246). Jelasnya, syura adalah
mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab
ar-ra’y[i] min al-mustasyâr) (Zallum, 2002: 216). Istilah lain dari
syura adalah masyûrah (An-Nabhani, 2001: 111) atau at-tasyâwur
(An-Nabhani, 1994: 246).
Taqiyuddin An-Nabhani (1994: 246) mengatakan bahwa
syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang
dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan
(qâ’id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas
(shâhib ash-shalâhiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara
suami-istri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka
sebelum dua tahun (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan
formal dilaksanakan dalam Majelis Umat, yang merupakan lembaga
wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap
Khalifah (Zallum, 2002: 222). Artinya, fungsi Majelis Umat antara lain
melakukan musyawarah dengan Khalifah. Namun demikian, Majelis Umat dalam
negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen
dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi
(tabanni) hukum syariat dari sejumlah hukum syariat yang ada dalam satu
masalah untuk mengatur urusan rakyat hanya menjadi otoritas Khalifah,
bukan yang lain (Zallum, 2002: 44).
Hukum melakukan syura, menurut Abdul Qadim Zallum,
adalah mandab (sunnah), bukan wajib (2002: 217-218). Ini sejalan dengan
pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan bahwa perintah
Allah Swt. kepada Rasulullah saw. untuk melakukan syura dalam al-Quran
surat Ali Imran ayat 159 adalah perintah mandab (sunnah), bukan
perintah wajib. Mereka itu, misalnya, Ibn Jarir ath-Thabari (Jami'
al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Rah al-Ma'na®, IV/106-107),
Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami' li
Ahkam al-Quran, IV/249-252), dan Ibn al-'Arabi (Ahkam
al-Quran, I/298).
Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari al-Quran
untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa wa syawirhum fî al-amr
(bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali 'Imran [3]: 159), ada
qaronah (indikasi) yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bukan
tuntutan yang bersifat tegas (thalab jazim) yang kesimpulan hukumnya
wajib, melainkan tuntutan tidak tegas (thalab ghayr jazim) yang
kesimpulan hukumnya mandb. Indikasi (qaronah) tersebut antara lain,
bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa fa idza azamta fatawakkal 'ala
Allâh (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah
kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat)—yaitu
maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan—hanya
kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Oleh
karena itu, dalam banyak kebijakannya, Rasul sering mengambil keputusan
tanpa bermusyawarah dengan para shahabat; seperti dalam pengangkatan
para wali (gubernur), para qâdhî (hakim), para sekretaris (kuttâb),
serta para pemimpin sariyah dan pasukan; juga dalam penandatanganan
gencatan senjata dan sebagainya (Zallum, 2002: 217-218). Ini menunjukkan
bahwa syura adalah mandûb, bukan wajib; yang melakukannya akan
mendapat pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak berdosa.
Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya
adalah hak kaum Muslim semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan
(shâhib ash-shalâhiyah), seperti Khalifah, ketika hendak meminta atau
mengambil pendapat, tidak mengambilnya kecuali dari kaum Muslim.
Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di
kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil
pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (jâ’iz) orang kafir
menyampaikan pendapat (ibda’ ar-ra’y) kepada orang Islam dan boleh
kaum Muslim mendengarkan pendapat (sama’ ar-ra’y) dari orang kafir
tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan syura hanya untuk kaum
Muslim, ditunjukkan, misalnya, oleh firman Allah Swt.:
"Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka. (QS Ali ‘Imran [3]: 159).
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti
memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali
bagi kaum Muslim. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan
bagi orang musyrik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 113). Demikian pula
bermusyawarah; tidaklah dilakukan Rasul kecuali dengan kaum Muslim
(An-Nabhani, 1994: 247).
Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil
selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi?
Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu
dalam segala bidang permasalahan. Sebaliknya, dalam syura, kriteria
pendapat yang diambil bergantung pada bidang permasalahan yang
dimusyawarahkan. Rinciannya, sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum
(1990) dalam Ad-Dimuqrathiyah Nizhâm Kufr, adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam masalah penentuan hukum syariat atau
legislasi (at-tasyrî‘), kriterianya tidak bergantung pada pendapat
mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariat (nash
al-Quran dan as-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ ,
The Law Giver) hanyalah Allah Swt., bukan umat atau rakyat. Pihak yang
mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi)
hukum-hukum syariat dalam sistem Khilafah adalah Khalifah saja, bukan
Majelis Umat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat
mengenai hukum-hukum syariat yang akan dilegislasikannya, meskipun hal
ini boleh dia lakukan. Jika Khalifah meminta pendapat Majelis Umat
mengenai hukum-hukum syariat yang hendak diadopsinya maka pendapat
Majelis Umat tidaklah mengikat Khalifah, meskipun pendapat itu
diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.
Dalilnya adalah fakta bahwa Rasulullah saw. pernah
mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian
Hudaibiyah. Padahal, pendapat kaum Muslim waktu itu merupakan pendapat
mayoritas. Akan tetapi, toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan
tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada
mereka:
Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi
perintah-Nya. (HR al-Bukhari dan Muslim. Lihat Fath al-Bari, VI/276;
Shahîh Muslim XII/141; Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’
al-Fawâ’id, V/225).
Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan
aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan
pertimbangan yang mendalam; yang dijadikan kriteria adalah ketepatan
atau kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas.
Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang
berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan
tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar
kemiliteran. Masalah-masalah fikih dikembalikan kepada para fuqaha dan
mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter
spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar
insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para
pemikir besar. Demikianlah seterusnya.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika
Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir—yang saat itu
merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—pada Perang Badar.
Saat itu Hubab mengusulkan kepada Nabi saw. agar meninggalkan tempat
yang dipilih beliau seandainya ketentuan tempat itu bukan berasal dari
wahyu. Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan
pertempuran. Rasulullah saw. pun mengikuti pendapat Hubab. Beliau dan
para sahabat kemudian berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh
Hubab. Jadi, Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan
tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah
tersebut. (Lihat: Kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sîrah Ibn
Hisyâm, II/272; Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/15; Târîkh Ibn Khaldun,
II/751; As-Sîrah li Ibn Katsîr, II/380-402).
Ketiga, dalam masalah-masalah yang langsung menuju
pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran
dan pertimbangan mendalam; yang menjadi patokan adalah suara mayoritas
karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan
pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada.
Contohnya adalah seperti: apakah kita akan memilih si A atau si B
(sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya); apakah kita akan
keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi
hari atau malam hari; apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut,
atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh
setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalam
masalah-masalah seperti ini, suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan
bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang
dialami Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Rasulullah saw. dan para
sahabat senior berpendapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari
kota Madinah. Sebaliknya, mayoritas sahabat, khususnya para pemudanya,
berpendapat bahwa kaum Muslim hendaknya keluar dari kota Madinah guna
menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi, pendapat yang ada
berkisar di antara dua pilihan: keluar kota Madinah atau tidak. Karena
mayoritas sahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, Nabi saw. lalu
mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para sahabat senior.
Mereka kemudian berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk
menghadapi pasukan Quraisy. (Lihat: Sîrah Ibn Hisyâm, III/67;
Thabaqât Ibn Sa‘ad, II/38; Târîkh Ibn Khaldun, II/765; Zâd
al-Ma‘âd, II/62; Fath al-Bârî, XVII/103).
Perbedaan Syura dengan Demokrasi
Dari uraian di atas, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Seperti telah dikutip sebelumnya, Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan).â€
Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi
bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil; tidak tepat dan
tidak proporsional. Mengapa? Sebab, syura hanyalah sebuah mekanisme
pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem
pemerintahan Islam (Khilafah). Sebaliknya, demokrasi bukan hanya sekadar
proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan
hidup (the way of life) yang holistic, yang terrepresentasikan dalam
sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Kenytaan bahwa demokrasi
adalah sebuah tipe sistem pemerintahan dapat dibuktikan, misalnya,
melalui pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional
Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln
menyatakan, “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.†(Melvin I. Urofsky, 2003: 2). Oleh karena itu,
menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak
proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi
seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura.
Syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan
dengan demokrasi.
Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi,
yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik
dengan demokrasi. Dalam syura ada proses pengambilan pendapat
berdasarkan suara mayoritas seperti yang terjadi dalam Perang Uhud. Ini
identik dengan yang ada dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 93-94). Namun
demikian, dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah
kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab, tak selalu syura
berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi
yang selalu menggunakan standar suara mayoritas untuk segala bidang
permasalahan. Selain itu, syura hanyalah hak kaum Muslim yang
dilaksanakan di antara sesama umat Islam ketika mereka bertukar pikiran
untuk mengambil suatu pendapat. Orang kafir tidak boleh ikut serta dalam
proses syura. Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang menjadikan Muslim
dan non-Muslim bisa bercampur-aduk untuk menetapkan suatu pendapat.
Jika demikian kontras bedanya, sekontras perbedaan warna putih dan
hitam, lalu di mana lagi letak kesamaan syura dan demokrasi? Samakah
yang putih dengan yang hitam?
Kemiripan syura dan demokrasi dalam tersebut menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif. Menurut Zallum (1990), sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri: berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); dibuat oleh manusia; didasarkan pada 2 (dua) ide pokok, yaitu: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaa, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.
Hanya dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari akidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari akidah Islam. Syura adalah hukum syariat yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim ide sekularisme yang kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar—yang berkuasa secara despotik dan absolute—dengan para agamawan Katolik yang korup dan manipulatif (An-Nabhani, 2001: 27).
Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi karena syura adalah pengambilan pendapat sedangkan demokrasi adalah sistem pemerintahan Barat yang berasaskan pada ide sekularisme yang kufur. Adanya kemiripan antara syura dan demokrasi tidak ada maknanya sama sekali karena keduanya mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.
Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan
sebagai salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini tampak
ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad
ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat
bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah—mereka sebut sebagai
The Sick Man—andaikata “orang sakit†ini telah masuk liang lahat.
Namun, mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk
menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya, Khilafah menerapkan sistem
kementerian (al-wuzarah) seperti dalam sistem demokrasi sebagai akibat
paksaan dan tekanan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat
segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis atau bahwa demokrasi
berasal dari ajaran Islam (Zallum, 1994: 135-136).
Atas dasar itu, siapa saja yang mengatakan bahwa
demokrasi adalah bagian ajaran Islam, misalnya dengan mengatakan
demokrasi adalah syura itu sendiri, berarti dia telah bersekutu dengan
para penjajah yang kafir untuk turut menghancurkan Islam dan menyesatkan
umat Islam. Propaganda demokrasi yang palsu dan penuh pemaksaan ini tak
punya tujuan lain, kecuali untuk mencegah bangkitnya ideologi Islam
dalam sebuah sistem Khilafah sekaligus untuk melestarikan hegemoni
ideologi kapitalisme-demokratik yang kufur di seluruh dunia, agar umat
manusia tetap terus-menerus hidup dalam ketertindasan, penderitaan,
serta kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ini tentu sangat kejam. Sangat
biadab dan gila. []
Daftar Pustaka
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, cet. Kuwait: Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah.
Anonim. 1990. “Negara Nasional dan Cita-Cita Islam.†Bung Karno dan Islam. Jakarta: Haji Masagung.
-. 1994. Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, juz I, cet. IV. (Beirut: Darul Ummah).
-. 2001. Nizhâm al-Islâm, cet. VI. t.tp.: min mansyurat Hizb Al-Tahrir.
An-Nahwi, Adnan Ali. 1985. Asy-Syûra Lâ ad-Dimuqrathiyah, cet. II. Kairo: Dar ash-Shahwah.
Ibn Manzhur. 1889. Lisân al-‘Arab. Bulaq: Al-Mathba’ah al-Amiriyah.
Thalib, Muhammad & Irfan S. Awwas (ed.), t.t. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. <http://www.geocities.com/ sabiluna/> Zionisme/Bab10.html.
Urofsky, Melvin I. et.al.. 2003. Demokrasi. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov
Zallum, Abdul Qadim. 1990. Ad-Dimuqrathiyyah Nizhâm Kufr, t.tp.: min mansyurat Hizb at-Tahrîr.
-. 1994. Afkâr Siyâsiyah, cet. I. Beirut: Darul Ummah.
-. 2002. Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. cet. VI. t.tp.: min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Sumber : http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/01/24/syura-bukan-demokrasi-oleh-m-shiddiq-al-jawi/
Filed under: Arsip Al-Wa'ie
Sumber : Hous Of Khilafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar