SEPANJANG perjalanan usianya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah membentangkan Islam sebagai sebuah tata nilai universal yang relevan dan rahmatan lil’alamin. PPP berhasil mentransformasi syariat Islam ke dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan lalu mengartikulasikannya ke dalam hukum positif Negara tanpa merubah Indonesia menjadi negara teokrasi (agama)
Namun keberhasilan menerjemahkan syariat Islam dalam konteks politik di Indonesia tersebut tidak diiringi dengan meningkatnya elektabilitas dan perolehan suara PPP yang sejak era reformasi bergulir cenderung mengalami penurunan. Realita ini harus menjadi bahan evaluasi dan introspeksi PPP. Bahkan harus dijadikan sebuah tantangan ke depan.
Banyak faktor penyebab yang membuat suara PPP mengalami penurunan. Salah satunya adalah kurangnya gerakan PPP dalam masalah pemberdayaan umat. Walaupun ada, mungkin hal tersebut kurang dirasakan oleh umat.
Harus diakui bahwa perjuangan partai yang tampak hanya pada ranah politik dalam hal ini di parlemen. Sementara kebanyakan fungsionaris tertarik membuat program yang bisa memperbesar anggota ketimbang program yang langsung menyentuh persoalan umat. Sehingga program pemberdayaan masyarakat, advokasi terhadap mereka yang tertindas atau membangun kekuatan ekonomi serta politik umat Islam menjadi terlupakan.
Bisa membuat “kerumunan” ketimbang gerakan efektif yang langsung bisa menembak sasaran dengan tepat. Akibatnya, beberapa agenda hanya efektif di tingkat isu, tetapi tidak terasa di tingkat aplikasi kongkritnya. Inilah yang kemudian menjadi alasan umat mulai menggeneralisir semua perilaku anggota partai politik.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya suara PPP sebagai partai Islam adalah masifnya penetrasi budaya Barat yang masuk mencekoki pemikiran umat Islam terutama generasi muda sebagai asset bangsa di masa depan. Sehingga merubah paradigma umat akan hakikat Islam itu sendiri. Pergeseran paradigma ini telah membuat umat berpikiran sekular bahkan “alergi” terhadap Islam politik. Ini jelas sangat merugikan Islam sebagai agama bukan hanya ideologi komunitas. Dan hal ini sudah terbukti pada beberapa gelaran Pilkada di Indonesia.
Terlepas dari hal tersebut kiranya tidak membuat gerakan politik Islam surut semangatnya. Setidaknya pada realita di atas ada hikmah yang harus diambil dan dijadikan sebagai bahan evaluasi. Disinilah pentingnya konsolidasi sebagai upaya menyatukan pemahaman dilakukan melalui cara-cara silaturahim dialogis yang intensif dalam membahas tentang topik persoalan.
Dari konsolidasi ini diharapkan muncul rumusan tentang common enemy (musuh bersama) umat Islam yang dihadapi dengan terencana, sistemik, dan sinergis antar kader. Dari konsolidasi ini pula akan terkikis saling curiga sehingga PPP bisa kembali kokoh sebagai Rumah Besar Politik Islam Indonesia yang menjadi tempat bernaung seluruh unsur umat Islam.
Namun keberhasilan menerjemahkan syariat Islam dalam konteks politik di Indonesia tersebut tidak diiringi dengan meningkatnya elektabilitas dan perolehan suara PPP yang sejak era reformasi bergulir cenderung mengalami penurunan. Realita ini harus menjadi bahan evaluasi dan introspeksi PPP. Bahkan harus dijadikan sebuah tantangan ke depan.
Banyak faktor penyebab yang membuat suara PPP mengalami penurunan. Salah satunya adalah kurangnya gerakan PPP dalam masalah pemberdayaan umat. Walaupun ada, mungkin hal tersebut kurang dirasakan oleh umat.
Harus diakui bahwa perjuangan partai yang tampak hanya pada ranah politik dalam hal ini di parlemen. Sementara kebanyakan fungsionaris tertarik membuat program yang bisa memperbesar anggota ketimbang program yang langsung menyentuh persoalan umat. Sehingga program pemberdayaan masyarakat, advokasi terhadap mereka yang tertindas atau membangun kekuatan ekonomi serta politik umat Islam menjadi terlupakan.
Bisa membuat “kerumunan” ketimbang gerakan efektif yang langsung bisa menembak sasaran dengan tepat. Akibatnya, beberapa agenda hanya efektif di tingkat isu, tetapi tidak terasa di tingkat aplikasi kongkritnya. Inilah yang kemudian menjadi alasan umat mulai menggeneralisir semua perilaku anggota partai politik.
Faktor lain yang menyebabkan menurunnya suara PPP sebagai partai Islam adalah masifnya penetrasi budaya Barat yang masuk mencekoki pemikiran umat Islam terutama generasi muda sebagai asset bangsa di masa depan. Sehingga merubah paradigma umat akan hakikat Islam itu sendiri. Pergeseran paradigma ini telah membuat umat berpikiran sekular bahkan “alergi” terhadap Islam politik. Ini jelas sangat merugikan Islam sebagai agama bukan hanya ideologi komunitas. Dan hal ini sudah terbukti pada beberapa gelaran Pilkada di Indonesia.
Terlepas dari hal tersebut kiranya tidak membuat gerakan politik Islam surut semangatnya. Setidaknya pada realita di atas ada hikmah yang harus diambil dan dijadikan sebagai bahan evaluasi. Disinilah pentingnya konsolidasi sebagai upaya menyatukan pemahaman dilakukan melalui cara-cara silaturahim dialogis yang intensif dalam membahas tentang topik persoalan.
Dari konsolidasi ini diharapkan muncul rumusan tentang common enemy (musuh bersama) umat Islam yang dihadapi dengan terencana, sistemik, dan sinergis antar kader. Dari konsolidasi ini pula akan terkikis saling curiga sehingga PPP bisa kembali kokoh sebagai Rumah Besar Politik Islam Indonesia yang menjadi tempat bernaung seluruh unsur umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar