Resensi Buku
Judul : Politik Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi)
Penulis : Prof. Dr. Moh. Mahfud. MD, SH., SU
Penerbit : Rajawali Pers, 2009
Tebal : ix + 381 halaman
Oleh : Jamaludin Ghafur, SH
Politik determinan atas hukum. Corak politik pada suatu rezim pemerintahan tertentu akan sangat mempengaruhi karakter/produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah rezim tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya akan berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya akan berkarakter ortodoks/konservatif/elitis. Itulah inti atau substansi dari isi buku yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia” karya Prof. Dr. Moh. Mahfud. MD, SH., SU. ini.
Dalam konteks hukum itu dipahami sebagai UU kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa “hukum adalah produk politik” karena sebenarnya lahirnya sebuah UU berasal dari lembaga politik (DPR) dimana pasal-pasal yang tertuang di dalamnya merupakan kompromi atau kesepakatan-kesepakan diantara kekuatan- kekuatan politik parpol yang mempunyai kursi di parlemen.
Dalam buku ini Prof. Mahfud membedakan secara diametral corak atau konfigurasi politik menjadi dua kutub yang berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara konfigurasi politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara.
Pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter tersebut kemuadian berimplikasi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sementara konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami bagaimana pengaruh politik dalam interaksinya dengan hukum sehingga konfigurasi politik tertentu akan menghasilkan karakter hukum tertentu pula, Prof. Mahfud mengambil sampel tiga produk undang-undang yaitu Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Keagrariaan untuk kemudian dianalisis dan dibandingkan bagaimana ketiga UU tersebut dihasilkan oleh tiga fase konfigurasi politik yang berbeda yaitu pada masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan masa orde baru.
Untuk memahami apakan konfigurasi politik itu demokratis atau otoriter, buku setebal ix + 381 halaman ini, indikator yang dipakai adalah bekerjanya tiga pilar demokrasi. Yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal terpenting yang bisa dicatat pada periode demokrasi liberal adalah adanya perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak melalui amandemen terhadap UUD. Perubahan dimaksud adalah beralih fungsinya KNIP yang semula sebagai pembantu Presiden, dikarenakan desakan beberapa pihak yang menuntut segera dibentuknya MPR dimana sebelum MPR terbentuk agar KNIP diberikan fungsi dan kewenangan yang sama dengan MPR. Oleh karena itu berdasarkan Maklumat Presiden No. X tahun 1945 fungsi legislatif dialihkan kepada KNIP dan dibentuk BP-KNIP.
Pada periode ini lahir Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang pada pokonya berisi harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk parpolnya sebelum dilangsungkan pemilu pada bulan Januari 1946. Maklumat inilah yang menjadi dasar sistem banyak partai atau pluralisme. Tidak ada yang membantah bahwa pada masa ini Indonesia benar-benar menerapkan konfigurasi politik yang sangat demokratis karena selain partai politik diberikan kebebasan untuk berkembang, kebebasan pers pun memperoleh pengakuan dari pemerintah. Saking demokratisnya pada era ini kekuatan eksekutif begitu lemah sehingga menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan terjadi instabilitas politik. Orang banyak menyebut kondisi ini sebagai demokrasi yang liberal.
Pada masa demokrasi liberal ini lahir UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU ini dapat diidentifikasi sebagai UU yang sangat responsif. UU tersebut dapat mengatur secara sangat rinci sistem pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses pemilunya (electoral processes), sehingga tidak memberi ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan peraturan perundang-undangan delegatif.
Dibidang Pemerintahan Daerah, pemerintah berhasil mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang masih sangat sederhana karena hanya berisi 6 pasal. UU ini menganut dualisme pemerintahan di daerah karena mendudukkan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat di daerah. Atas kelemahan ini kemudian diadakan penyempurnaan dengan menerbitkan UU No. 22 tahun 1948. Namun begitu UU inipun belum menghapus sifat dualisme dari UU sebelumnya dan bahkan UU ini tidak dapat diberlakukan diseluruh Indonesia karena pergulatan melawan penjajahan Belanda.
UU No. 1 tahun 1957 kemudian tampil sebagai pengganti atas UU No. 22 tahun 1948 tersebut. UU ini sudah lebih responsif dari dua UU sebelumnya yang mengatur hal yang sama. Watak responsif atau populistik tersebut dari sudut materi dapat dilihat dari adanya muatan tentang keleluasaan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas otonomi yang seluas-luasnya, penekanan DPRD sebagai pelaksana medebewind, serta mikanisme penentuan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat meskipun sebelum adanya UU pemilihan, kepala daerah dipilih oleh DPR. Menurut UU No 1 tahun 1957, kepala daerah bukan alat pusat dan kedudukannya tidak tergantung pada pusat. Disini tampak bahwa unsur sentralistik sangat diminimalkan.
Ada dua hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal keagrariaan yang sangat responsif yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dan menyiapkan rancangan UU agrarian nasional yang baru. Dalam hal penyiapan rancangan undang-undang agrarian tersebut Presiden membentuk sebuah panitia di Yogyakarta melalui Penpres No. 16 tahun 1948 dan menghasilkan beberapa saran kepada DPR diantaranya adalah penghapusan dualisme, pemberian tanah kepada petani, pengembalian tanah perkebunan kepada negara, penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak milik, pembebasan orang desa dari beban warisan feodalisme, pengaturan pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil dan koordinasi pengairan oleh negara. Ketika ibukota Indonesia berpindah kembali ke Jakarta, pemerintah dengan Kepres No. 36 tahun 1951 melakukan pembaharuan terhadap kepanitiaan agraria nasional ini dengan tetap diketuai oleh ketua panitia yang sama dengan di Yogyakarta yaitu Sarimin Reksodihardjo. Inilah conto corak/karakter tiga produk hukum yang ada pada masa demokrasi liberal yang kesemuanya bersifat demokratis sesuai dengan konfigurasi politiknya pada saat itu yang juga demokratis.
Pada periode kedua yaitu demokrasi terpimpin, berlandaskan pada adanya instabilitas pemerintahan pada periode sebelumnya yaitu demokrasi liberal, akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit Tanggal 5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan konstituante yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya “ membentuk UUD” dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Inilah era baru yang dinamakan demokrasi terpimpin oleh Soekarno.
Seiring dengan adanya Dekrit Presiden tersebut kemudian politik liberal demokratis yang diterapkan sebelumnya kemudian mengalami perubahan kearah politik yang otoriter. Hal ini mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Moeljarto Tjokrowinoto yang mengatakan bahwa demokrasi terpimpin ternyata lebih menekankan pada aspek “terpimpin” nya sehingga menjurus kepada disguised autocracy.
Tidak terselenggara pemilu pada periode ini sehingga UU yang mengatur tentang Pemilu juga secara otomatis tidak dilahirkan. UU pemerintahan daerahpun mengalami revisi yang sebelumnya diatur dengan UU No. 1 tahun 1957 diganti dengan Penpres No. 6 tahun 1959 yang intinya menggariskan kebijakan politik untuk mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 18 tahun 1965 yang juga bersifat sentralistik.
Berbeda dengan dua corak karakter hukum pemilu dan pemerintahan daerah di atas, produk hukum di bidang agraria yang dihasilkan pada masa ini berhasil mengeluarkan UU No. 5 tahun 1960 yang substansi isinya sangat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berakhirnya masa demokrasi terpimpin kemudian digantikan dengan rezim orde baru. Belajar dari pengalaman orde sebelumnya (orde lama), orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menitik beratkan program pemerintahannya terhadap pembangunan dan pemulihan ekonomi yang pada jaman orde lama kurang mendapat perhatian sehingga sejarah mencatat inflasi ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 600%.
Prioritas kebijakan yang menitik tekankan pada pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya stabilitas politik, pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Jalan yang ditempuh untuk mensukseskan obsesi Soeharto yang didukung penuh oleh kekuatan Angkatan Darat (AD) itu kemudian mengambil cara membatasi pluralisme parpol yang dijaman Soekarno dianggap menjadi penyebab terjadinya instabilitas politik.
Pada era ini pilar-pilar demokrasi tidak bisa berjalan secara baik dan efektif. Parpol dan parlemen berada pada posisi yang tidak berdaya bahkan hanya menjadi alat legitimatimasi bagi kebijakan-kebijan pemerintah, eksekutif sangat powerful karena bisa mengontrol semua kebijakan negara sesuai dengan apa yang dikehendakinya serta kebebasan pers terpasung dan dikebiri dengan diberlakukannya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana kebijakan ini terbukti sangat ampuh dijadikan sebagai amunisi oleh pemerintah untuk membungkap kebebasan dan independensi pers. Jika ada pers yang terlalu vokal mengkritik pemerintah dan dianggap mengganggu proses pembangunan maka pers yang bersangkutan akan dibredel dengan cara dicabut SIUPP nya.
Memang pada awal-awal pemerintahannya, orde baru sempat menampilkan politik yang agak liberal demokratis dengan memberikan ruang kepada pers dan parpol untuk melakukan koreksi atau kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini hanya untuk sementara dan merupakan strategi awal pemerintah orde baru sampai ditetapkannya format politik baru yang terbukti kemudian sangat otoriter.
Konfigurasi politik otoriter yang ditampilkan oleh kekuasaan orde baru kemudian paralel dengan produk hukum yang dihasilkannya yaitu karakter hukum yang konservatif/ortodoks/elitis. UU pemilu yang lahir pada masa orde baru ini adalah UU No. 15 tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal. Sangat singkatnya pasal-pasal yang ada dalam UU ini membuat pemerintah sesuai dengan keinginan politiknya bisa menginterpretasikan semaunya sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini memungkin adanya pengangkatan sebagian dari anggota MPR dan DPR dari ABRI yang tentu saja orang-orang yang diangkat oleh pemerintahpun adalah mereka yang mendukung visi dan kebijakan eksekutif.
Khusus mengenai agraria hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam periode ini disbandingkan dengan periode sebelumnya. UUPA yang sudah ada sejak masa demokrasi terpimpin tetap diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga praktis dalam bidang keagrariaan walaupun watak politik orde baru adalah otoriter namun pengaturannya demokratis.
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah pengungkapannya tentang karakter produk hukum bidang keagrariaan yang dirancang pada masa demokrasi liberal dan berlaku dalam 2 variasi konfigurasi politik yang berbeda yaitu periode demokrasi terpimpin dan orde baru tetapi tidak mengalami perubahan dan tetap konsisten berkarakter responsif/demokratis. Padahal jika mengacu pada asumsi dasar buku ini bahwa karakter produk hukum selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan konfigurasi politik yang sedang ditampilkan oleh penguasa pada saat itu, harusnya UU agraria pada masa demokrasi terpimpin dan di era orde baru bercorak ortodoks/elitis/otoriter, namun tidak demikian degan UUPA. Penyimpangan atau pengecualian ini menurut Prof. Mahfud dapat dijelaskan dalam 4 hal, yakni: Pertama, UUPA disahkan berdasarkan rancangan yang telah disiapkan oleh periode sebelumnya. Kedua, UUPA membongkar dasar-dasar kolonialisme yang ditentang oleh semua pemerintah Indonesia tanpa tergantung pada konfigurasi politiknya. Ketiga, UUPA memuat materi yang tidak menyangkut hubungan kekuasaan. Keempat, UUPA tidak semata-mata memuat bidang Hukum Administrasi Negara, tetapi juga memuat bidang hukum keperdataan.
Buku ini memberikan perspektif yang berbeda kepada kita terhadap apa yang selama ini kita yakini bahwa hukum itu bersifat otonom dan tidak terpengaruh oleh sistem atau tatanan sosial kemasyarakatan. Namun membaca buku ini seakan kita menemukan sebuah cakrawala baru yang lebih luas bahwa hukum yang notabene diproses dan dihasilkan oleh lembaga politik yaitu parlemen sulit untuk tidak dikatakan tidak tercemar oleh kepentingan politik praktis parpol bahkan secara ektrem bisa dikatakan bahwa hukum (undang-undang) merupakan kristalisasi dari kepentingan-kepentingan sebuah rezim kekuasaan.
Yang menjadi kekurangan dari buku ini adalah beberapa bagian pembahasannya terutama menyangkut Judicial Review beberapa hal sudah tidak lagi kontekstual untuk saat ini karena mikanisme judicial review telah diatur dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga yaitu di dalam pasal 24 ayat (2) dan di dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini bisa dimaklumi karena sebenarnya buku ini telah terbit pertama kali pada bulan September tahun 1998 sebelum UUD 1945 diamandemen dan mengadopsi keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu tugasnya adalah melakukan judicial review.
Kekurangan yang kedua adalah dari segi penulisan yang masih banyak salah dalam pengetikannya, misalnya, kata rnelalui yang seharusnya melalui (hlm 347 baris ke 33) serta letak catatan kaki (foot note) ada yang salah letak halamannya sehingga terpisah dari teksnya. Catatan kaki nomor 194 yang seharusnya berada di halaman 273 tetapi berada di halaman 274.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat sebagai karya yang tidak hanya mengupas hukum dari sisi yuridis normatif belaka, tetapi berusaha menguak tabir apa sesungguhnya yang melatarbelakangi sebuah peraturan hukum (UU) itu dihasilkan sehingga hal ini bisa membantu kita untuk memahami esensi hukum itu yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan rumusan norma dalam pasal-pasal.
Penulis : Prof. Dr. Moh. Mahfud. MD, SH., SU
Penerbit : Rajawali Pers, 2009
Tebal : ix + 381 halaman
Oleh : Jamaludin Ghafur, SH
Politik determinan atas hukum. Corak politik pada suatu rezim pemerintahan tertentu akan sangat mempengaruhi karakter/produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah rezim tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya akan berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya akan berkarakter ortodoks/konservatif/elitis. Itulah inti atau substansi dari isi buku yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia” karya Prof. Dr. Moh. Mahfud. MD, SH., SU. ini.
Dalam konteks hukum itu dipahami sebagai UU kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa “hukum adalah produk politik” karena sebenarnya lahirnya sebuah UU berasal dari lembaga politik (DPR) dimana pasal-pasal yang tertuang di dalamnya merupakan kompromi atau kesepakatan-kesepakan diantara kekuatan- kekuatan politik parpol yang mempunyai kursi di parlemen.
Dalam buku ini Prof. Mahfud membedakan secara diametral corak atau konfigurasi politik menjadi dua kutub yang berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara konfigurasi politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara.
Pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter tersebut kemuadian berimplikasi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sementara konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami bagaimana pengaruh politik dalam interaksinya dengan hukum sehingga konfigurasi politik tertentu akan menghasilkan karakter hukum tertentu pula, Prof. Mahfud mengambil sampel tiga produk undang-undang yaitu Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Keagrariaan untuk kemudian dianalisis dan dibandingkan bagaimana ketiga UU tersebut dihasilkan oleh tiga fase konfigurasi politik yang berbeda yaitu pada masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan masa orde baru.
Untuk memahami apakan konfigurasi politik itu demokratis atau otoriter, buku setebal ix + 381 halaman ini, indikator yang dipakai adalah bekerjanya tiga pilar demokrasi. Yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal terpenting yang bisa dicatat pada periode demokrasi liberal adalah adanya perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak melalui amandemen terhadap UUD. Perubahan dimaksud adalah beralih fungsinya KNIP yang semula sebagai pembantu Presiden, dikarenakan desakan beberapa pihak yang menuntut segera dibentuknya MPR dimana sebelum MPR terbentuk agar KNIP diberikan fungsi dan kewenangan yang sama dengan MPR. Oleh karena itu berdasarkan Maklumat Presiden No. X tahun 1945 fungsi legislatif dialihkan kepada KNIP dan dibentuk BP-KNIP.
Pada periode ini lahir Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang pada pokonya berisi harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk parpolnya sebelum dilangsungkan pemilu pada bulan Januari 1946. Maklumat inilah yang menjadi dasar sistem banyak partai atau pluralisme. Tidak ada yang membantah bahwa pada masa ini Indonesia benar-benar menerapkan konfigurasi politik yang sangat demokratis karena selain partai politik diberikan kebebasan untuk berkembang, kebebasan pers pun memperoleh pengakuan dari pemerintah. Saking demokratisnya pada era ini kekuatan eksekutif begitu lemah sehingga menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan terjadi instabilitas politik. Orang banyak menyebut kondisi ini sebagai demokrasi yang liberal.
Pada masa demokrasi liberal ini lahir UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU ini dapat diidentifikasi sebagai UU yang sangat responsif. UU tersebut dapat mengatur secara sangat rinci sistem pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses pemilunya (electoral processes), sehingga tidak memberi ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan peraturan perundang-undangan delegatif.
Dibidang Pemerintahan Daerah, pemerintah berhasil mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang masih sangat sederhana karena hanya berisi 6 pasal. UU ini menganut dualisme pemerintahan di daerah karena mendudukkan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat di daerah. Atas kelemahan ini kemudian diadakan penyempurnaan dengan menerbitkan UU No. 22 tahun 1948. Namun begitu UU inipun belum menghapus sifat dualisme dari UU sebelumnya dan bahkan UU ini tidak dapat diberlakukan diseluruh Indonesia karena pergulatan melawan penjajahan Belanda.
UU No. 1 tahun 1957 kemudian tampil sebagai pengganti atas UU No. 22 tahun 1948 tersebut. UU ini sudah lebih responsif dari dua UU sebelumnya yang mengatur hal yang sama. Watak responsif atau populistik tersebut dari sudut materi dapat dilihat dari adanya muatan tentang keleluasaan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas otonomi yang seluas-luasnya, penekanan DPRD sebagai pelaksana medebewind, serta mikanisme penentuan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat meskipun sebelum adanya UU pemilihan, kepala daerah dipilih oleh DPR. Menurut UU No 1 tahun 1957, kepala daerah bukan alat pusat dan kedudukannya tidak tergantung pada pusat. Disini tampak bahwa unsur sentralistik sangat diminimalkan.
Ada dua hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal keagrariaan yang sangat responsif yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dan menyiapkan rancangan UU agrarian nasional yang baru. Dalam hal penyiapan rancangan undang-undang agrarian tersebut Presiden membentuk sebuah panitia di Yogyakarta melalui Penpres No. 16 tahun 1948 dan menghasilkan beberapa saran kepada DPR diantaranya adalah penghapusan dualisme, pemberian tanah kepada petani, pengembalian tanah perkebunan kepada negara, penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak milik, pembebasan orang desa dari beban warisan feodalisme, pengaturan pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil dan koordinasi pengairan oleh negara. Ketika ibukota Indonesia berpindah kembali ke Jakarta, pemerintah dengan Kepres No. 36 tahun 1951 melakukan pembaharuan terhadap kepanitiaan agraria nasional ini dengan tetap diketuai oleh ketua panitia yang sama dengan di Yogyakarta yaitu Sarimin Reksodihardjo. Inilah conto corak/karakter tiga produk hukum yang ada pada masa demokrasi liberal yang kesemuanya bersifat demokratis sesuai dengan konfigurasi politiknya pada saat itu yang juga demokratis.
Pada periode kedua yaitu demokrasi terpimpin, berlandaskan pada adanya instabilitas pemerintahan pada periode sebelumnya yaitu demokrasi liberal, akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit Tanggal 5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan konstituante yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya “ membentuk UUD” dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Inilah era baru yang dinamakan demokrasi terpimpin oleh Soekarno.
Seiring dengan adanya Dekrit Presiden tersebut kemudian politik liberal demokratis yang diterapkan sebelumnya kemudian mengalami perubahan kearah politik yang otoriter. Hal ini mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Moeljarto Tjokrowinoto yang mengatakan bahwa demokrasi terpimpin ternyata lebih menekankan pada aspek “terpimpin” nya sehingga menjurus kepada disguised autocracy.
Tidak terselenggara pemilu pada periode ini sehingga UU yang mengatur tentang Pemilu juga secara otomatis tidak dilahirkan. UU pemerintahan daerahpun mengalami revisi yang sebelumnya diatur dengan UU No. 1 tahun 1957 diganti dengan Penpres No. 6 tahun 1959 yang intinya menggariskan kebijakan politik untuk mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 18 tahun 1965 yang juga bersifat sentralistik.
Berbeda dengan dua corak karakter hukum pemilu dan pemerintahan daerah di atas, produk hukum di bidang agraria yang dihasilkan pada masa ini berhasil mengeluarkan UU No. 5 tahun 1960 yang substansi isinya sangat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berakhirnya masa demokrasi terpimpin kemudian digantikan dengan rezim orde baru. Belajar dari pengalaman orde sebelumnya (orde lama), orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menitik beratkan program pemerintahannya terhadap pembangunan dan pemulihan ekonomi yang pada jaman orde lama kurang mendapat perhatian sehingga sejarah mencatat inflasi ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 600%.
Prioritas kebijakan yang menitik tekankan pada pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya stabilitas politik, pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Jalan yang ditempuh untuk mensukseskan obsesi Soeharto yang didukung penuh oleh kekuatan Angkatan Darat (AD) itu kemudian mengambil cara membatasi pluralisme parpol yang dijaman Soekarno dianggap menjadi penyebab terjadinya instabilitas politik.
Pada era ini pilar-pilar demokrasi tidak bisa berjalan secara baik dan efektif. Parpol dan parlemen berada pada posisi yang tidak berdaya bahkan hanya menjadi alat legitimatimasi bagi kebijakan-kebijan pemerintah, eksekutif sangat powerful karena bisa mengontrol semua kebijakan negara sesuai dengan apa yang dikehendakinya serta kebebasan pers terpasung dan dikebiri dengan diberlakukannya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana kebijakan ini terbukti sangat ampuh dijadikan sebagai amunisi oleh pemerintah untuk membungkap kebebasan dan independensi pers. Jika ada pers yang terlalu vokal mengkritik pemerintah dan dianggap mengganggu proses pembangunan maka pers yang bersangkutan akan dibredel dengan cara dicabut SIUPP nya.
Memang pada awal-awal pemerintahannya, orde baru sempat menampilkan politik yang agak liberal demokratis dengan memberikan ruang kepada pers dan parpol untuk melakukan koreksi atau kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini hanya untuk sementara dan merupakan strategi awal pemerintah orde baru sampai ditetapkannya format politik baru yang terbukti kemudian sangat otoriter.
Konfigurasi politik otoriter yang ditampilkan oleh kekuasaan orde baru kemudian paralel dengan produk hukum yang dihasilkannya yaitu karakter hukum yang konservatif/ortodoks/elitis. UU pemilu yang lahir pada masa orde baru ini adalah UU No. 15 tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal. Sangat singkatnya pasal-pasal yang ada dalam UU ini membuat pemerintah sesuai dengan keinginan politiknya bisa menginterpretasikan semaunya sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini memungkin adanya pengangkatan sebagian dari anggota MPR dan DPR dari ABRI yang tentu saja orang-orang yang diangkat oleh pemerintahpun adalah mereka yang mendukung visi dan kebijakan eksekutif.
Khusus mengenai agraria hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam periode ini disbandingkan dengan periode sebelumnya. UUPA yang sudah ada sejak masa demokrasi terpimpin tetap diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga praktis dalam bidang keagrariaan walaupun watak politik orde baru adalah otoriter namun pengaturannya demokratis.
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah pengungkapannya tentang karakter produk hukum bidang keagrariaan yang dirancang pada masa demokrasi liberal dan berlaku dalam 2 variasi konfigurasi politik yang berbeda yaitu periode demokrasi terpimpin dan orde baru tetapi tidak mengalami perubahan dan tetap konsisten berkarakter responsif/demokratis. Padahal jika mengacu pada asumsi dasar buku ini bahwa karakter produk hukum selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan konfigurasi politik yang sedang ditampilkan oleh penguasa pada saat itu, harusnya UU agraria pada masa demokrasi terpimpin dan di era orde baru bercorak ortodoks/elitis/otoriter, namun tidak demikian degan UUPA. Penyimpangan atau pengecualian ini menurut Prof. Mahfud dapat dijelaskan dalam 4 hal, yakni: Pertama, UUPA disahkan berdasarkan rancangan yang telah disiapkan oleh periode sebelumnya. Kedua, UUPA membongkar dasar-dasar kolonialisme yang ditentang oleh semua pemerintah Indonesia tanpa tergantung pada konfigurasi politiknya. Ketiga, UUPA memuat materi yang tidak menyangkut hubungan kekuasaan. Keempat, UUPA tidak semata-mata memuat bidang Hukum Administrasi Negara, tetapi juga memuat bidang hukum keperdataan.
Buku ini memberikan perspektif yang berbeda kepada kita terhadap apa yang selama ini kita yakini bahwa hukum itu bersifat otonom dan tidak terpengaruh oleh sistem atau tatanan sosial kemasyarakatan. Namun membaca buku ini seakan kita menemukan sebuah cakrawala baru yang lebih luas bahwa hukum yang notabene diproses dan dihasilkan oleh lembaga politik yaitu parlemen sulit untuk tidak dikatakan tidak tercemar oleh kepentingan politik praktis parpol bahkan secara ektrem bisa dikatakan bahwa hukum (undang-undang) merupakan kristalisasi dari kepentingan-kepentingan sebuah rezim kekuasaan.
Yang menjadi kekurangan dari buku ini adalah beberapa bagian pembahasannya terutama menyangkut Judicial Review beberapa hal sudah tidak lagi kontekstual untuk saat ini karena mikanisme judicial review telah diatur dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga yaitu di dalam pasal 24 ayat (2) dan di dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini bisa dimaklumi karena sebenarnya buku ini telah terbit pertama kali pada bulan September tahun 1998 sebelum UUD 1945 diamandemen dan mengadopsi keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu tugasnya adalah melakukan judicial review.
Kekurangan yang kedua adalah dari segi penulisan yang masih banyak salah dalam pengetikannya, misalnya, kata rnelalui yang seharusnya melalui (hlm 347 baris ke 33) serta letak catatan kaki (foot note) ada yang salah letak halamannya sehingga terpisah dari teksnya. Catatan kaki nomor 194 yang seharusnya berada di halaman 273 tetapi berada di halaman 274.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat sebagai karya yang tidak hanya mengupas hukum dari sisi yuridis normatif belaka, tetapi berusaha menguak tabir apa sesungguhnya yang melatarbelakangi sebuah peraturan hukum (UU) itu dihasilkan sehingga hal ini bisa membantu kita untuk memahami esensi hukum itu yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan rumusan norma dalam pasal-pasal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar