Resensi Buku
Bingkai Politik Keindonesiaan
Judul Buku : Dinamika Komunikasi Politik
Penulis : Gun Gun Heryanto
Penerbit : PT. Lasswell Visitama, Jakarta
Tebal : xvi+ 324 halaman
Terbit : Desember 2011
Harga : 60.000,-
Pesan Langsung: 081314272883
Menyimak situasi politik Indonesia saat ini, tampak ada tiga fenomena yang menonjol jika dipotret dari perspektif komunikasi politik. Pertama, praktik demokrasi prosedural yang membuka ruang-ruang ekspresi dan partisipasi politik masyarakat.
Hal ini dimulai sejak transisi dari otoritarianisme Orde Baru ke era demokrasi elektoral yang berjalan hingga sekarang. Fenomena ini melahirkan beragam manuver,rivalitas dalam perumusan regulasi untuk saling mendukung atau menundukkan. Kontestasi politik ini menyuburkan basis komunikasi politik sebagai kebutuhan di hampir seluruh tindakan aktor.
Kedua, banyak perkembangan baru yang muncul dan menjadi penanda modernisasi di bidang komunikasi politik. Misalnya, penggunaan sosial media dalam menyosialisasikan ide,gagasan dan sikap para aktor politik. Mewabahnya penggunaan Twitter, Facebook dan sejumlah sosial media lainnya oleh para politisi,membuat lingkup komunikasi politik semakin luas.
Bahkan,fenomena protes di cyber pun kian menggejala meski belum nampak matang sebagai gerakan hacktivist yang menentang superioritas rezim kekuasaan dan korporasi seperti dilakukan Wikileaks. Di buku karya Gun Gun Heryanto ini beberapa kali fenomena ini disebut sebagai third age of political communication.
Ketiga,tumbuh suburnya industri di seputar komunikasi politik. Misalnya, media massa, konsultan komunikasi politik, agen publisitas,profesional PR (public relation) politik dll. Kerap menjamurnya industri komunikasi politik ini masih ditandai oleh kegagapan kita akan fenomena ini. Misalnya, terkait dengan aturan main soal publikasi hasil riset opini publik melalui media yang hingga kini masih belum jelas.
Panggung politik Indonesia terutama yang dibingkai oleh media pun kerap hanya menyajikan hyperealitas politik yang berlebihan. Jika ditelisik, benang merah pemaparan Gun Gun nampak memosisikan beragam peristiwa politik sebagai hal yang berpola. Banyak kesamaan pola peristiwa meskipun antara satu peristiwa dengan peristiwa lain terjadi dalam waktu berbeda dan memiliki sejumlah aktor yang berbeda pula.
Misalnya saja konflik elite yang melibatkan partai politik, motif dan modusnya sering kali memiliki kesamaan dengan peristiwa di masa sebelumnya. Relasi kuasa yang dibangun antar aktor pun kerap berkisar dalam model-model relasi yang hampir sama. Dalam konteks inilah buku karya Gun Gun sebagai akademisi yang consern dengan isu-isu komunikasi politik di Indonesia ini mendapatkan tempat istimewa.
Kita senantiasa butuh sebuah dokumentasi yang memotret dinamika yang terjadi di masa lalu, sekarang dan prediksi mendatang. Dalam buku ini setidaknya penulis menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, pentingnya membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap politik. Gun Gun menilai, literasi politik sebagai gerakan evolutif merupakan simpul kekuatan civil society. Literasi ini dimaksudkan untuk membaca kamuflase politik elitis di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekaligus menghindari dominasi politik kartel yang pekat dengan praktik kolusif.
Kedua, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor. Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan “kesalehan”berpolitik baik di tingkat pribadi maupun institusional. Pemikiran analitis yang dibingkai dalam tujuh bab bahasan di buku ini menyoroti beberapa peristiwa dengan cukup detil dan memadai, mengacu pada momentum peristiwa politik yang hangat dalam diskursus media. Pada bab pertama, penulis menyoroti manuver politik dan kontestasi parpol.
Di bagian pertama ini, penulis menyajikan ulasan seputar manuver partai politik dalam kontestasi demokrasi. Di bab kedua,penulis membahas citra DPR. Bagian ini memotret berbagai peristiwa konflik, inisiatif,produktivitas kerja dan respons khalayak terhadap para politisi DPR. Bahasan bab ketiga secara khusus menyoroti performa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia yang telah terpilih dalam dua kali pemilu.
Bab keempat mengulas posisi media dalam politik. Penulis menawarkan solusi atas dinamika komunikasi politik kita dewasa ini pada bab kelima. Secara khusus, penulis menyoroti rivalitas dalam regulasi politik dalam bab keenam,di mana paket rancangan undangundang mengenai nasib politik bangsa dikoreksi dengan detil.
Resensi ini dipublikasikan di Koran SINDO,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar