Ahmad Syarif Syechabubakr  ;     
 Anggota   Ruang Studi Jatinangor (RSJ), 
Chief Editor Jurnal Islam   As-Syiasah
INDOPROGRESS,  31 Januari 2014
ARTIKEL   saudara Amin Mudzakkir mengenai lahir dan menangnya   liberalism Islam di Indonesia sangat menarik. Artikel itu mengajak kita untuk   kemudian menyelidiki kelahiran Islam liberal di Indonesia. Sayangnya artikel   saudara Amin terkesan sangat terburu-buru dalam mendefiniskan gerakan Islam   liberal, terutama ketika ia memasukkan Nurcholis Madjid (Cak Nur), Abdurahman   Wahid (Gus Dur) dan Ulil Abshar Abdalla ke dalam satu lingkaran liberal yang   seakan-akan ketiganya lahir dari tradisi intelektual yang sama. Saya rasa itu   kecelakaan besar dalam artikel itu.
 
Kompleksitas ide para intelektual Islam kemudian disadur begitu sederhana ke dalam liberalisme.
Kompleksitas ide para intelektual Islam kemudian disadur begitu sederhana ke dalam liberalisme.
Apalagi saudara Amin   tidak mendahului dengan mendefinisikan liberalisme jenis apa yang   dibayangkannya. Sesaat kita bisa melihat ide liberal yang dimaksud adalah   semangat terjun bebas melampaui adab dan   tradisi dalam tafsir, seperti yang dilakukan Ulil. Tetapi kalau memang itu   yang dimaksud, maka buku Akal dan Wahyu  karangan Harun Nasution yang   menjelaskan Akal tidak pernah steril   dari kepentingan dan kemashalatan Umat telah membantah ide tafsir terjun   bebas ala Ulil. Atau apabila liberalisme adalah kemerdekaan subyek dari   ikatan komunalnya, maka bagaimana menjawab Gus Dur yang dianggap sebagai   pemersatu Umat di pesantren-pesantren di Jawa, yang bentuknya sangat komunal?   Tidak ada individu yang merdeka dalam kaidah liberalisme di dalam pesantren,   yang pola hubungannya sangat patron-kilen (Kiai-Santri). Gus Dur di dalam   pesantren tidak ditafsirkan sebagaimana Gusdurian borjuis dan JIL tafsirkan.
Uniknya, kelompok   Islam fundamentalis dan liberal sepertinya sepakat tanpa debat dengan   liberalnya Gus Dur, Cak Nur dan Harun Nasution, dan kemudian juga sepakat   bahwa Ulil Abshar adalah pewaris liberalisme mereka. Ini jelas menyesatkan!
Bahkan,   jangan-jangan, Cak Nur, Harun Nasution dan Gus Dur adalah korban dari tafsir   sederhana dari kelompok fundamentalis dan politisasi dari kelompok liberal   yang memerlukan nama besar untuk menjalankan agendanya. Mengenai   jargon-jargon pemikiran yang dipolitisasi adalah hal lumrah dalam konteks   politik modern. Kita, misalnya, pernah melihat bagaimana konsep Ubersmensch Nietzsche kemudian digunakan oleh Nazi   untuk melegitimasi ide-ide fasismenya.
Sepertinya ada   kesalahan umum yang kita lakukan dalam membaca gerakan inteletualisme dan   politik Islam di Indonesia, terutama dalam membaca gerakan intelektual   tradisionalis. Saya akan membagi tulisan ini ke dalam dua bagian: Pertama, memberikan gambaran singkat mengenai tradisi   Politik Islam di Indonesia, terutama dalam perspektif tradisional. Kedua mengenai lahirnya apa yang sekarang sering   disebut sebagai cikal-bakal yang di klaim sebagai liberal Islam oleh banyak   kalangan.
Islam: antara   tradisi politik modern dan tradisional?
Islam di Indonesia   dan dimanapun di muka bumi ini, tidak pernah menjadi sebuah gerakan ‘hanya   ibadah’ saja. Dalam sejarah Indonesia, kita mendapati Perang Jawa (Diponegoro   1825-1830), pemberontakan Petani Banten (1888), Pemberontakan Aceh   (1896-1901) dan lahirnya gerakan Nasionalis dan Komunis di dalam SI (Sarekat   Islam) yang menggunakan warna Islam. Dalam momen-momen itu, Islam lahir   sebagai sumber energi dari mobilisasi politik. Dan Islam dalam gerakan di   atas menikah dengan ideologi yang lain, baik itu komunisme, ide-ide adat dan   tentu saja kelompok nbasionalis. Di sini kita bisa melihat Islam sebagai   idiologi yang cair, mampu menyerap yang lain di luar dirinya.
Sementara itu ada   kelalaian dalam mendefiniskan politik Islam yang sepertinya hanya berfokus kepada   nafsu untuk merebut kekuasaan institusional seperti Negara, dan mendirikan   Negara Islam baik itu melalui jalur demokratis maupun pemberontakan.   Kesalahan jenis ini sepertinya umum di lakukan oleh intelektual modern dalam   menerjemahkan prilaku politik dan prilaku non politik dalam Islam. Kekuasaan   dan otoritas dalam ide modern dipandang dalam konteks kekuasaan   institusional, seperti Negara, Partai Politik, Institusi Militer, dll.   Kekuasaan dalam pemaknaan Islam Tradisionalis tidak dipandang dan diukur melalui   penguasaan atas institusi, tetapi kepatuhan individu/tubuh.
Disinilah perbedaan   utama Islam Modern dan Islam Tradisionalis. Islam Modern mereproduksi   kekuasaannya melalui sekolah-sekolah modern, dimana tingkat pengetahuan   diukur dengan cara modern seperti tingkatan kelas, nilai raport dan prestasi   individu dalam memahami pengetahuan-pengetahuan alam yang sistemis dan   rasional. Inilah yang dilakukan oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad dan organisasi   Islam modern lainnya pada awal 1900an.
Sementara Itu Islam   Tradisionalis memproduksi kekuasaanya melalui ritual-ritual seperti Majelis   Taklim, Maulid Nabi, Ziarah Kubur, membaca Wirid dengan jumlah yang   ditentukan, membaca Al-Quran dengan mengulang apa yang diucapkan oleh Kiai.   Transfer pengetahuan dalam Islam tradisionalis berlansung dalam ritual-ritual   itu, melalui pengalaman relijius yang terkadang mistis. Melalui ritual-ritual   inilah pengetahuan dan otoritas agama direproduksi. Dan ritual-ritual itu   acapkali di sebut sebagai bid’ah oleh   kalangan Islam Modernis.
Untuk menemukan   bagaimana Islam Politik di definisikan di Indonesia, kita harus mundur lebih   jauh kepada Snouk Horgronje. Horgronje adalah intelektual modern yang pertama   kali mendefinisikan mengenai Islam Politik secara sistemis ke dalam   kategori-kategori tertentu. Sebelumnya Sir Thomas Raffles berusaha melakukan   itu, tetapi beliau tidak seberhasil Snouk Horgronje. Horgronje mendefinisikan   Islam di Indonesia ke dalam tiga kategori: (1) Islam Ibadah (Ritual); (2)   Islam dalam bidang sosial kemasyarakatan; dan (3) Islam Politiek.[1] Bagi Horgronje Islam politik adalah yang memberikan   ancaman terhadap institusi-institusi kolonial, sehingga yang Islam   tradisionalis yang berfokus pada ibadah tidak dianggap berbahaya atau   apolitis. 
Klaim Horgronje ini kemudian diamini oleh studi-studi yang   dipelopori oleh Cornell University AS, mengenai Indonesia modern. Saya hendak   mengutip salah satu intelektual Islam modern paling berpengaruh, lulusan   Cornell, Delliar Noer: ‘Dapatkah benteng Islam di Indonesia yang berpusat   pada pesantren, surau, langgar dan masjid-mesjid itu yang bersifat   tradisional itu mampu menghadapi tantangan ini? (Kolonialisme).’[2]Petikan dari Noer itu menyiratkan pesimisme atas kemampuan   politik Islam Tradisionalis, dan di dalam bukunya Noer telah memberikan   perhatian yang terlalu besar terhadap Islam Modern dan mengecilkan Islam   Tradisionalis.
Pertanyaannya   sekarang, apakah betul Islam Tradisionalis tidak ‘berpolitik?’ Jangan-jangan   Horgronje benar, bahwa kelompok tradisionalis apolitis dan tidak bisa   ‘bergerak.’ Untuk menguji aktivitas politik Islam Tradisionalis di Indonesia,   kita sebenarnya bisa melihat pemberontakan-pemberontakan Islam sebelum 1900.   Pemberontakan-pemberontakan itu bisa didefinisikan sebagai gerakan Islam   tradisionalis, karena dipelopori oleh intelektual yang diproduksi oleh   institusi dan dengan metode tradisionalis.
Salah satu yang bisa   kita ambil contoh sebagai bahan diskusi adalah Pemberontakan Diponegoro.   Banyak intelektual beranggapan bahwa pemberontakan Diponegoro adalah   pemberontakan politik ekonomi ketika Belanda hendak mengakusisi Tegalrejo.   Pendapat seperti ini, menurut saya, salah dalam mengenali posisi Islam di   dalam pemberontakan tersebut. Meminjam ungkapan David. J. Banks, Islam dalam   pemberontakan Diponegoro ‘as a progressive source of   adat (Local Custom), and potential vehicle for the transformation of society.[3]’ Dalam konteks pemberontakan Diponegoro, Islam dan budaya   Jawa berasimilasi melawan kolonial yang pada waktu itu merusak kosmologis   Jawa, ketika sebagian pangeran Jawa berselingkuh dengan kolonial untuk   mengganti hubungan produksi ekonomi yang berbasis Kawula-Gusti dengan basis   Buruh-Majikan. Melalui penggantian itu, perkebunan dan pertanian tidak lagi   meladeni tata-aturan budaya Jawa dengan ritual-ritualnya, tetapi meladeni   pasar global di Eropa.
Jawa dan wilayah   Indonesia lainnya sudah diperkenalkan oleh Islam dengan kata Adil, Haq danHukum, sebelum sistem order   colonial diakui sebagai tata-aturan publik pada 1900an.   Tetapi kata-kata itu tidak kemudian sama seperti yang digunakan Islam Arab,   dia berasimilasi mencerap dan dicerap oleh budaya Jawa, sehingga menghasilkan   kata yang popular dikalangan masyarakat Jawa seperti Ratu Adil. 
Disinilah   keunikan utama tradisi Politik Islam di kalangan Tradisionalis, yaitu   sifatnya yang luwes sehingga mampu mencerap dan dicerap oleh ideologi selain   dirinya.
Perang Diponegoro   memberikan tiga hal kepada kita yang bisa digunakan untuk menganalisis   gerakan Islam politik di Indonesia: pertama, Islam   hadir sebagai ideologi yang luwes, yang kemudian membantu Umat dalam menjawab   permasalahan kekinian; kedua, Islam   memiliki komitmen yang kuat kepada Umat sehingga klaim terhadap kepentingan   Umat dan ukhuhwah (persatuan) menjadi   penting dalam gerakan politik Islam, termasuk mengenai kesejahteraan dan   kebutuhan relijius dan duniawi (ekonomi politik). Umat dalam pengertian Islam   Tradisionalis cenderung terikat pada lokalitas tempat ia berada, sementara   dalam definisi Islam Modern relatif lebih menglobal. Ketiga,maka dari itu sebagai sebuah entitas baik   Islam tradisional dan Modern tidak steril dari konstelasi politik ekonomi   tempat ia berada.
Lahirnya Islam   komunis, Islam nasionalis dan Islam liberal di Indonesia, menurut saya,   merupakan konsekuensi dari keluwesan Politik Islam. Tetapi asumsi bahwa   liberalisme yang menikah dengan Islam disamakan dengan liberalisme á la ‘Barat’ adalah kesalahan fatal, karena ketika   Islam mencerap ide dan dicerap ide lain keduanya saling memodifikasi. Klaim   liberal dari kacamata liberalisme ‘Barat’ akan menjadi sumber masalah dalam   melihat mengapa Gus Dur menjadi sumber semangat komunal di pesantren di Jawa,   Harun Nasution menolak tafsir ultra-liberal atas Al-Quran, dan Cak Nur lebih   mengritik efektivitas organisasi Islam dalam menjawab kebutuhan umat.
Kelompok studi   kritis Islam 1970an                                                                    
Setelah 1965 Islam   Politik, terutama yang terlibat didalam politik praktis mengalami banyak   sekali tekanan. Soeharto menolak merehabilitasi Masyumi, sementara NU yang   aktif membantu Orba dalam meruntuhkan PKI, malah di minimalisir peranannya di   dalam politik praktis. Pada 1970an, fusi partai dilakukan, gerakan politik   Islam praktis mengalami pukulan besar. Mereka bukan hanya gagal mendapat   dukungan dari umat, tetapi juga menunjukkan prilaku yang korup dan gagal   menjawab keresahan Umat.
Pada tahun 1970an,   intelektual-intelektual muda Islam mengalami keresahan luar biasa dengan   situasi yang terjadi. Pada tahun 1970, kelompok studi yang terdiri dari Ahmad   Wahib, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo di Jogjakarta, melakukan diskusi   rutin mengenai permasalahan dan ide-ide Islam di rumah Rektor UIN Jogja Mukti   Ali, yang kemudian hari menjabat sebagai Menteri Agama. Djohan Efendi dan   Ahmad Wahib adalah anggota aktif HMI yang pada tahun 1960 di bredel oleh   Sukarno, dan kemudian ikut aktif dalam gerakan bawah tanah HMI pada era   Sukarno. Setelah 1965, mereka merasa kecewa betul dengan penolakan   rehabilitasi Masyumi. Lebih lagi, mereka kecewa dengan cara HMI mengambil   langkah politiknya yang begitu mudah dikooptasi oleh Orba. Sementara itu di   Jakarta, gerakan kritisisme Islam di pimpin oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur).   Walau mayoritas anggota HMI di Jakarta pada waktu itu berbasis di Universitas   Indonesia, Cak Nur adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Dia sangat   popular sehingga terpilih dua kali sebagai ketua HMI pada masa krusial   pembentukan Orde Baru, 1966-1969 dan 1969-1971.
Cak Nur cukup unik,   dia lahir dari keluarga NU di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Walau   dibesarkan di keluarga Islam Tradisionalis dan lulusan Gontor, Cak Nur   menolak bergabung dengan NU, dia malah bergabung dengan Masyumi yang basis   pendukungnya dari Islam Modern. Di Masyumi dia malah sering di cemooh karena   berasal dari keluarga NU. Masyumi memiliki kekecewaan luar biasa terhadap NU,   apalagi setelah NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi setelah Muktamar di   Palembang pada tahun 1952, dan kemudian mendukung NASAKOM (Nasionalis, Agama   dan Komunis) Sukarno yang mendepak Masyumi dan PSI.
Cak Nur yang pernah   di juluki Natsir Muda ini, juga memiliki keresahan yang sama dengan apa yang   dialami oleh koleganya di Jogjakarta. Tetapi beliau relatif berani   memformulasikan permasalahan Umat Islam pada waktu itu, lebih lagi karena ia   memiliki posisi yang strategis untuk mendefiniskan permasalahan tersebut. Cak   Nur, mengamati betul bagaimana organisasi Islam pada era Orde Baru mengalami   kemunduran yang luar biasa, bukan hanya konsekuensi dari sikap represif Orde   baru terhadap Islam Politik, tetapi juga karena praktik korup politisi Islam   baik dalam mencari keuntungan maupun dukungan politik. Sementara permasalahan   Umat yang lebih luas seperti moralitas politik dan hilangnya ruang   interpretasi atas permasalahan hidup Umat Islam semakin terdegradasi.
Sisa-sisa   intelektual Masyumi pada waktu itu kemudian membentuk DDII (Dewan Dakwa Islam   Indonesia), yang kemudian secara massif menyebarkan ide-ide Islam ke pelosok   Indonesia. Tapi Cak Nur sepertinya tidak puas dengan itu. Lebih lagi dia   merasa ada gap yang jauh antara elite   politik dan intelektual Islam dengan umat Islam pada waktu itu.
Proyek reformasi Cak   Nur
Salah satu yang juga   penting di dalam pemikiran Cak Nur adalah posisi Umat yang menjadi pusat   perhatiannya. Permasalahan akses terhadap keadilan dan haq dalam politik dan ekonomi adalah apa yang   dihadapi Muslim di Indonesia.
Cak Nur melihat   bahwa penyebab utama dari hal tersebut adalah pensakralan beberapa jargon   politik Islam, yang sepertinya lepas dan tidak boleh lagi di kritik. Salah   satunya adalah Negara Islam dan memasukkan Sharia kepada hukum positif,   sehingga sharia adalah permasalahan bagaimana memberikan hukuman bagi yang   melanggar, bukan masalah mengatur kehidupan Umat. Siapapun yang mengritik   Negara Islam kemudian dianggap tidak Islami. Ini yang diresahkan oleh Cak   Nur.
Maka dari itu, Cak   Nur merasa perlu mereformasi pemikiran Islam. Untuk itu beliau mempelopori   program reformasi pemikiran Islam dengan (1) Sekularisasi; (2) kebebasan   pemikiran; dan (3) ide pembaruan dan sikap yang terbuka. Sekilas ide-ide   program Cak Nur terlihat sangat Liberal.
Tetapi marilah kita   membahas apa yang dimaksud dengan Sekularisasi á la Cak Nur, dan di sini saya hendak meminjam   definisi Greg Barton: ‘Sekularisasi is   defined by Nurcholis in contradiction to Sekularisme, the   latter term being employed to designate the atheistic system of thought, or   world view, that is commonly intended by use of term secular humanism. Sekularisasi he defines as being a process   rather than a belief system.[4]’ Bagi Cak Nur sekularisasi adalah proses desakralisasi atau   mematerialkan ide-ide Islam.
Cak Nur melalui tiga   program reformasinya mencoba menurunkan ide-ide Islam yang sakral dan tidak   lagi bisa diperdebatkan ke bumi, sehingga bisa digunakan dan menjawab   permasalahan umat. Cak Nur berupaya menjadikan konsep-konsep yang abstrak   menjadi lebih materialis. Konsep mematerialkan yang sakral ini dipinjam Cak   Nur dari Muhammad Iqbal: ‘The Statement that Islam is Bolshevism plus God   (Iqbal), means Muslim posses similarity in looking at the world and its   problem with communist (realistic, objective, and do not make excessive   valuations regarding objective materials), the difference lies in the fact   that Islam holds a world-view (weltanschauung) which   correlates the existence of God.’ [5]
Pada tingkat ini,   Cak Nur mengritik Politik Islam yang dijalankan oleh kelompok Modern yang   berpijak pada ide-ide Sakral yang tidak lagi boleh diperdebatkan. Bagi Cak   Nur, kesakralan Islam tidak terletak pada ide yang kaku dan mati, tetapi   bagaimana ide dan akal mampu   menjawab permasalahan Umat. Untuk itu mematerialkan (mendesakralisasi)   ide-ide Islam adalah hal yang mutlak. Walaupun Cak Nur menekankan pentingnya   penggunaan rasio dan akal dalam   desakralisasi, tetapi dia juga mengamini bahwa akal dan rasio adalah Amanah,  sehingga harus digunakan sebagai bagian   dari tanggung jawab terhadap Umat. Bagi Cak Nur, semua yang menyangkut   kehidupan umat bisa di desakralisasi dan di materialkan kecuali Tuhan.   Disinilah afirmasinya atas ide Muhammad Iqbal yang terkenal dengan    jargon: Islam is Bolshevism plus God.
Konsekuensi dari   desakralisasi ini adalah tidak ada lagi yang membedakan antara dunia   spiritual dan dunia material. Bagi Cak Nur, hanya dengan cara inilah kita   bisa menjadi Muslim secara Kaffah (Menyeluruh).   Contoh yang paling kentara mengenai pemisahan antara dunia dan agama: ketika   seorang Ustad yang tertangkap korupsi lengkingan Allahuakbar dikumandangkan, dimana bagi   pengikutnya si Ustad adalah representasi kealiman, sehingga umat buta akan   perilaku korupnya. Perilaku seperti itu yang di kritik oleh Cak Nur sebagai   akibat dari pemisahan yang sakral dan yang duniawi, yang menyebabkan   kesadaran palsu atas realitas beragama.
Program sekularisasi   Cak Nur ini mendapat tantangan dari kelompok Politik Islam Modern yang merasa   mendesakralisasi Negara Islam akan membahayakan legitimasi dari usaha untuk   mendirikannya. Sementara kelompok Islam puritan merasa program sekularisasi   ini akan membahayakan elite Islam, karena dengan sekularisasi peta kekuasaan   elite Islam dan ulama akan mengalami perubahan yang drastis.
Tentu saja   sekularisasi Cak Nur berbeda dengan sekulerisme ‘Barat’ yang mencoba   memisahkan moralitas agama dari kehidupan administratif bernegara. Contoh   yang paling baru adalah usaha Kanada untuk mempraktikkan undang-undang yang   melarang simbol agama (seperti, jilbab, kalung salib, topi Yahudi, sorban   Sikh dan lainnya) dipakai oleh pegawai negeri.  Sekularisasi Cak Nur   malah ingin menemukan kembali moralitas agama dalam kehidupan bernegara.   Ketika Cak Nur memperkenalkan slogan Islam Yes, Partai Islam No,   dia sedang mengritik gerakan Islam politik modern yang mereproduksi   pensakralan ide-ide seperti Negara Islam dan Hukum Sharia yang untouchable dari kritik, bukan mendepolitisasi   Islam. Dengan demikian, sekularisasi Cak Nur tidakcompatible dengan   program liberalisme ‘Barat’ yang mencoba memerdekakan individu dari ikatan   dan tanggung jawab komunalnya kepada Umat, apalagi mencoba mendepolitisasi   Islam.
Sementara itu,   liberalisme Islam yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah   barang baru yang lahir paska 1998, ketika terjadi perubahan drastis kebijakan   ekonomi Indonesia dari kapitalisme patrimornial Orde Baru ke kapitalisme   neoliberal. Pada era Orba kompetisi bebas á la neoliberal   tidak pernah menemukan posisi yang nyaman, yang ada hanya kronisme Orba yang   menguasai ekonomi Indonesia. Barulah setelah 1998, neoliberalisme   diperkenalkan secara mapan, dengan deregulasi kebijakan fiskal dan finansial,   terutama dalam hal distribusi kredit dari bank, yang menaruh persaingan bebas   ke dalam jantung kehidupan masyarakat kita. 
Neoliberalisme di Indonesia   sebelum 1998 adalah neoliberal setengah hati, dimana rezim hanya   berpartisipasi di dalam konteks global khususnya di produksi minyak.   Sementara di dalam negeri, Soeharto masih segan menderegulasi beberapa   kebijakan dan menerapkan persaingan bebas di Indonesia.
Konsekuensi   neoliberalisme setelah 1998 adalah masyarakat di tekan untuk menjadi   kompetitif. Islam tradisionalis cenderung gagal berpartisipasi karena mereka   agak berjarak dengan pendidikan modern dan semangat taklid (patuh pada kiai) tidak sesuai dengan   agenda neoliberal. Di sinilah Ulil Abshar lahir, di ruang dimana kebutuhan   akan reformasi kehidupan Muslim yang lebih sesuai dengan semangat neoliberal   lahir. Bahwa ada kemiripan antara Ulil dan Cak Nur tidak membenarkan adanya   aliran intelektual yang sama antara keduanya. Dan ide-ide Ulil bukanlah   barang baru, sudah dibicarakan oleh intelektual sebelum dia. Yang baru adalah   Ulil menaruhnya dalam konteks kebutuhan akan Muslim yang kompetitif bagi   pasar tenaga kerja di era neoliberal.
Gerakan Radikal   Islam setelah 1998, juga berbeda dari gerakan Usro Abdullah Sungkar dan   Abubakar Ba’asyir sebelum 1998. Gerakan radikal Indonesia setelah 1998   mendapatkan dukungan dari kelas yang disebut Gayatri Spivak sebagai unorganized labor atau oleh Marx sebagai Lumpen Ploretariat, yakni mereka yang berprofesi   sebagai pedagang gorengan, buruh harian, pedagang kaki-lima dan asongan.   Lumpen proletariat atau Unorganized labor ini   terjepit di antara Toserba, dicekik oleh preman-preman, diseret Satpol PP dan   terkadang hanyut di telan banjir. 
Mereka luput dari amatan intelektual NU dan   Muhammadiyah yang sedang sibuk ikut interfaith dialoque atau   meneruskan studi di Eropa dan Amerika, sementara sampai sekarang kita belum   melihat adanya organisasi kiri di Indonesia yang fokus pada lumpen. Dan   ketika mereka terserap oleh organisasi garis keras dan melancarkan aksi   seperti di Sampang Madura, kelompok liberal mengecilkan isunya sebagai State failure atau minimnya toleransi beragama.   Di sini, jelas bahwa kaum liberal cenderung menghindari analisis struktur   politik ekonomi di belakang gerakan radikal di Indonesia sekarang.
Singkat kata,   intelektual Islam di Indonesia lahir dari pergulatan yang sengit yang terkait   pada masanya, sehingga mendefinisikan orang-orang seperti Cak Nur, Gus Dur   dan Harun Nasution ke dalam satu ‘kantong’ liberal adalah bentuk dukungan   kepada agenda liberalisme itu sendiri, dan juga mengecilkan pergulatan   intelektual mereka. Lebih lagi kalau hanya liberal yang bisa kita baca dari   mereka, jangan-jangan kita lupa bergulat dengan diri sendiri.  ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar