Sebagai sebuah negara-bangsa, kita sudah punya pengalaman 10 kali dalam menyelenggarakan pemilu. Mulai dari pemilu pertama di tahun 1955, selanjutnya berturut-turut pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan terakhir di 2009 lalu. Dalam penyelenggaraan pemilu tersebut juga sudah berbagai sistem dan manajemen penyelenggaran pemilu telah kita coba praktikkan. Mulai dari sisitem multipartai di era 1955, dwipartai plus golkar di era orde baru, hingga kembali pada sistem multipartai di era reformasi ini. Begitu pula dalam manajemen penyelenggaraannya yang juga cukup bervariasi, seperti pada pemilu 1955 yang berbentuk PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), era Orde Baru yang mengambil format LPU (Lembaga Pemilihan Umum), hingga di era reformasi yang mengambil bentuk KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang berkedudukan tetap, mandiri dan bersifat nasional serta dikukuhkan dalam UUD 1945 Pasal 22E.
Semua pengalaman tersebut tentunya sudah harus membuat kita semakin matang dalam berdemokrasi sehingga cita-cita untuk menjadi bangsa yang sejahtera lahir dan batin akan tercapai. Namun bagaikan pungguk merindukan bulan, dari tahun ke tahun, dan dari periode ke periode pemilu, kita belum juga sampai pada sebuah zaman kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sepuluh kali menyelenggarakan pemilu seolah sekadar menjadi rutinitas lima tahunan yang kurang berdampak secara signifikan bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Bahkan pemilu sebagai sebuah instrumen regenerasi pemimpin bangsa justru tidak terwujud dengan baik. Dan sebaliknya pemilu kerap dijadikan sebagai alat mempertahankan kekuasaan para tokoh-tokoh lama. Di sinilah kemudian pemilu terjebak menjadi semacam festival demokrasi yang terasa gaduh menjelang pelaksanaannya namun mendadak sunyi senyap begitu usai acara.
Oleh sebab itu, agar kita tidak lagi terjebak pada rutinitas pemilu yang tentu saja menelan biaya yang tidak sedikit itu, maka kita harus betul-betul menjadikan pemilu 2014 ini sebagai sebuah momentum untuk merekayasa Indonesia masa depan. Artinya, pengalaman menyelenggarakan pemilu sebanyak 10 kali harus kita jadikan pelajaran penting dalam mempersiapkan pemilu di tahun 2014 ini sehingga lebih berkualitas dan berdampak lebih baik bagi masa depan Indonesia.
Tri-Kualitas
Agar pemilu 2014 yang akan kita songsong ini berdampak pada perbaikan masa depan Indonesia, maka mau tak mau kualitas pemilu 2014 harus betul-betul diperhatikan secara serius. Kualitas pemilu ini bukan hanya terletak pada aspek pelaksanaannya saja tapi lebih dari itu juga keseluruhan aspek yang melekat dalam pemilu, mulai dari pihak penyelenggara, kontestan, hingga pemilih.
Pertama, yaitu kualitas penyelenggara yang dalam hal ini dilakukan oleh KPU adalah sangat penting untuk ditingkatkan. Untuk meningkatkan kualitas KPU maka pertama-tama bukan terletak pada aspek intelektualitasnya melainkan justru yang paling penting adalah integritas dan independensinya. Kalau kita mencari orang yang kapabel dalam masalah pemilu tentu sudah banyak dan bisa kita temui di sejumlah perguruan tinggi dan pusat-pusat studi kepemiluan dan demokrasi yang tumbuh bak jamur di musim hujan di negeri ini. Namun tampaknya tingkat intelektualitas atau kapabilitas dalam masalah kepemiluan tidak menjamin kualitas penyelenggaraan pemilu bila tidak didukung oleh penyelenggara yang memiliki integritas yang tinggi serta independensi yang kuat.
Faktor integritas dan independensi ini penting karena pemilu adalah arena kontestasi yang paling vulgar sekaligus kasar dalam sistem politik Indonesia. Sehingga bila pihak penyelenggara tidak independen atau berpihak pada salah satu kontestan maka kegaduhan demi kegaduhan politik akan mewarnai perjalanan bangsa ini ke depan. Pengalaman pemilu 1999 yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perwakilan partai politik menunjukkan bahwa akhirnya KPU tidak berhasil mengesahkan hasil pemilu. Namun independensi saja tidak cukup bila tidak didasarkan atas integritas yang bersih dan tanpa kepentingan. Kasus pemilu 2004 dan 2009 juga menunjukkan bahwa meskipun penyelenggara pemilu terdiri dari orang-orang akademisi yang dianggap independen, namun karena mereka terjebak pada kepentingan sesaat maka akhirnya mereka harus menikmati masa pensiunnya dari KPU di jerusji besi. Oleh karena itu, independensi dan integritas penyelenggara pemilu sangat vital dalam menentukan kualitas pemilu 2014 ini.
Aspek kedua yang juga perlu ditingkatkan kualitasnya adalah calon atau kontestan yang berlaga di pemilu. Peningkatan kualitas calon atau kontestan ini jugapenting sekali karena pemilu sejatinya adalah untuk memilih mereka. Bila penyelenggara(an) pemilu sudah berkualitas dalam arti sesuai dengan prinsip-prinsipfair play, namun kualitas para calonnya buruk, maka masa depan Indonesia juga tidak akan berubah menjadi lebih baik. Kualitas calon atau kontestan di sini tentunya bukan terletak sejauh mana tingkat popularitas di media, pun pula bukan terletak pada seberapa banyak dana yang dikeluarkannya, melainkan justru terletak pada rekam jejak pengabdiannya pada rakyat selama ini. Bila rekam jejak pengabdian ini menjadi tolok ukur seorang calon, maka masa depan Indonesia yang lebih baik masih bisa diharapkan.
Kemudian aspek ketiga yang tak kalah penting untuk ditingkatkan kualitasnya adalah para pemilih atau warga negara yang memiliki hak suara dalam pemilu. Kualitas pemilih ini biasanya sering kurang mendapat perhatian dalam keseluruhan proses pemilu. Bahkan, para pemilih ini kerap hanya dijadikan sebagai komoditas politik yang dimobilisir menjelang detik-detik pelaksanaan pemilu. Ketika pelaksanaan pemilu sudah tinggal beberapa hari lagi, maka kelengkapan administrasi pemilih mulai dipersiapkan oleh sejumlah lembaga pemerintahan. Namun setelahpemilu usai, keberadaan pemilih kembali ditinggalkan dan bahkan tidak dihiraukan. Padahal bila kita hendak menciptakan pemilu yang berkualitas, maka kualitas para pemilih ini juga harus mendapat perhatian. Kualitas pemilih di sini mengandung makna bahwa seorang pemilih itu harus cerdas, kritis dan bebas: Cerdas dalammemilih siapakah calon yang dipandangnya bisa merubah Indonesia menjadi lebih baik, tidak peduli apakah calon itu beragama A atau B, berprofesi A atau B, dan lain sebagainya; kritis dalam arti seorang pemilih harus bisa memeriksa rekam jejak seorang calon apakah dia pernah mengkhianati rakayat atau tidak; dan bebas dalam arti seorang pemilih tidak mendapat tekanan dari manapun saat dia menentukan pilihannya. Oleh sebab itu, untuk meningkatan kualitas pemilih ini maka gerakan pendidikan pemilih cukup mendesak dilakukan.
Bila ketiga aspek dalam penyelenggaraan pemilu di atas benar-benar ditingkatkan mutu, bobt dan kualitasnya, maka pemilu tidak hanya akan menjadi semacam pesta demokrasi yang gegap gempita di hari pelaksanaanya, melainkan pemilu betul-betul menjadi sebuah metode rekayasa Indonesia menuju keadaan yang lebih baik dan sejahtera.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MEMPERTAHANKAN KEDALAMAN MAKNA PANCASILA
kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...
-
Haryo Sengkuni adalah tokoh sentral dalam alur cerita pewayangan. Tanpa kehadiran sang patih ini cerita wayang menjadi hambar. Tiada intr...
-
Data buku: Seks dan Hijab: Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah Shereen El Faki Penerjemah: Adi Toha Alvabet, Jakart...
-
kETIDAKSUKAANMegawati pada saat Menjadi Presiden untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila setelah berhasil mengatasi pemberotakan Berda...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar